Thursday, December 31, 2009

malam tahun baru

From: Agus Dwi Rahardjo

semalem nonton tv di rumah saja sinambi online...
bersama 2 anak yang mahasiswa yang pada nge-game...
juga bersama si bungsu satu2nya anak cewe (masih sd)...
milih channel tv-nya yang cartoon... :(
ibunya malah ketiduran di depan tv...

yang anak sma & smp, pada minta izin tidak tidur di rumah...
ada acara sama temen2 sekolahnya...
*apakah putra2 kisanak ada juga yang tidak tidur di rumah?*

Wednesday, December 30, 2009

Red mahseer

agak merah kekuningan...

desas-desus

From: dewanto

oleh: Goenawan Mohamad

DESAS-DESUS dapat berarti teror. Desas-desus juga bisa jadi akibat rasa
takut yang panjang. Ia bisa membuat orang waspada. Tetapi, ia juga bisa jadi
hanya sesuatu yang lahir karena rasa asyik dengan suasana tegang di
masyarakat.

Dulu ia disebut juga sebagai "kabar angin", karena tak jelas sumbernya dan
disampaikan dari mulut ke mulut. Kini penyebaran itu mengikuti perkembangan
teknologi: dari satu pesan internet ke pesan internet lain.

Cyber-rumour ini memang gejala masa informasi sekarang, ketika produksi
informasi jadi mudah dan kilat, demikian juga penyebarannya. Sudah banyak
yang berbicara tentang bahaya banjir bandang informasi, dan saya hanya akan
menambahkan sedikit. Problem dari cyber-rumour itu bukan saja dalam hal
jumlah, tetapi karena pesan-pesan intemet itu hampir tanpa memerlukan
tuntutan untuk mempertanggungjawabkan kebenarannya. Bahkan dapat dikatakan,
bahwa di zaman intemet ini, desas-desus menemukan sarananya yang paling
tepat. Malah lebih efektif.

Karena ia datang melewati satu sarana teknologi yang canggih, ada kesan
bahwa apa yang muncul dalam e-mail anda adalah sesuatu yang "benar", atau
punya makna yang lebih serius ketimbang sekadar iseng. Barangkali sebab ada
praduga bahwa yang mengirimkannya (lewat komputer, modem, dan
kaitan-kaitannya yang rumit) adalah orang yang terpelajar, dan itu berarti
orang yang punya informasi yang cukup.

Tetapi, pada umumnya kabar angin diterima sebagai "benar" karena ia cocok
dengan prasangka kita. Atau karena mengasyikkan kita. Atau karena meneguhkan
rasa takut kita. Sangat sedikit usaha untuk mengecek, apakah kabar yang
disampaikan itu benar atau tidak. Bahkan jarang dianalisis, masuk-akal atau
tidak. Dalam keadaan tegang, misalnya menjelang atau sesudah kerusuhan, atau
dalam suasana perang, kabar angin dapat dikatakan merupakan bagian yang tak
terelakkan dari kehidupan.

Para ahli psikologi Amerika (saya kutip dari sebuah buku klasik Gordon
Allport, "Prejudice") bahkan pernah mencatat bahwa dalam suatu kerusuhan
rasial di Detroit di awal tahun 1940-an, terbetik cerita yang ternyata
sepenuhnya hash halusinasi. Dalam kasus ini disebut bahwa seorang perempuan
menelepon polisi mengatakan bahwa dengan "mata kepala sendiri" ia melihat
seorang kulit putih dikeroyok mati oleh sejumlah orang hitam. Ketika polisi
datang ke tempat itu, yang mereka temukan adalah anak-anak perempuan sedang
bermain-main dan tidak ada bekas-bekas kekerasan apa pun. Sementara itu,
orang lain yang excited (atau asyik, atau takut) dengan ketegangan sosial
yang ada, dengan serta merta, meneruskan halusinasi tersebut.

Klinik Desas-desus

Apa yang harus dilakukan untuk menangkal desas-desus? Tidak banyak. Dan
karena ia berkaitan dengan sesuatu yang tanpa sumber, sesuatu yang tak
jarang menyangkut juga emosi para penyebar dan penerima, mungkin tidak ada
cara efektif untuk menangkalnya. Tetapi, ada juga usaha yang layak dicoba.

Di Amerika di masa Perang Dunia II dulu, surat-surat kabar membentuk "klinik
desas-desus". Dengan cara ini, media yang bersangkutan menampung pelbagai
kabar angin. Di balik meja redaksi ada tim yang mengadakan pengecekan serta
kemudian menyiarkan hasilnya.

Di Indonesia hal ini belum dilakukan—mungkin karena pers Indonesia belum
mendapat ide itu, atau bersikap bahwa desas-desus memang tidak perlu
dilayani. Tentu saja yang paling cocok untuk melakukan hal itu adalah sebuah
koran harian, terutama yang punya kredibilitas yang tinggi, karena
desas-desus berkecamuk dengan kecepatan yang besar dan menghilang dengan
tangkas pula. Saya tidak tahu apakah efektivitasnya akan sama bila dilakukan
oleh radio. Pada umumnya, orang lebih berpegang kepada yang tercetak:
informasi itu bisa disimpan dan diulang untuk diverifikasi.

Ada juga cara lain. Para pemilik komputer dengan internet—disertai relawan
yang cukup untuk bekerja—dapat menjalankan klinik yang sama, bila koran
tidak memadai. Mereka bisa membentuk satu jaringan pengirim dan penerima
pesan. Atau, kalau tidak, kelompok-kelompok masyarakat dengan jaringan
informasi itu membangun suatu basis data. Di dalamnya dicatat isi rumor dan
juga tanggal serta waktu ketika ia pertama kali kita dengar. Kemudian, kita
menganalisisnya: dengan membandingkan isi, subjek, dan objek kabar angin
itu, dari siapa datangnya dan apakah yang mengabarkan itu memperolehnya dari
tangan sendiri. Juga baik untuk melihat persamaan atau perbedaannya dengan
"info-info" yang lain, dapat ditilik apakah ada pola yang berulang atau
tidak. Kabar angin yang punya pola yang sama di waktu yang lain dan tempat
yang lain sangat besar kemungkinannya tidak berbukti.

Lebih canggih sedikit adalah menganalisis apa yang kira-kira diarah dengan
kabar angin itu—"diarah" dengan sengaja atau tidak. Apakah kabar angin itu
punya tendensi, sadar atau tidak, untuk memperkuat prasangka kita terhadap
kelompok lain (misalnya prasangka orang "pribumi" terhadap "Cina", dan
"Cina" terhadap "Muslim")? Ataukah kabar angin itu untuk meneror, sehingga
membuat ketakutan, gelisah, tidak berdaya? Atau datang dan orang sakit jiwa
dan iseng? Atau yang lain? Hasil analisis itu tentu saja bersifat hipotetis,
dan akan sangat baik bila disiarkan seraya mengundang tanggapan. Diskusi
tentang ini juga punya fungsi terapi: mengangkat rasa takut dalam sorotan.

Bukan sesuatu yang baru untuk dikatakan di sini bahwa desas-desus selama ini
adalah gejala ketidakpercayaan yang tinggi kepada informasi resmi. Sindrom
ini merupakan kelanjutan dari suatu masa—yang belum lama berselang—ketika
kita hidup dengan arus informasi yang dikendalikan ketat oleh kekuasaan
militer dan pemerintah. Di bawah Presiden Soeharto selama 32 tahun, akhirnya
desas-desus jadi komoditas yang diperlukan: semacam cerita alternatif ketika
ada asumsi umum bahwa surat kabar dan media elektronik tak boleh
memberitakan fakta yang sebenarnya. Maka, yang penting bagi informasi yang
tak terbuka itu bukanlah akurasinya, bukan pula benar atau tidaknya,
melainkan sifat perlawanannya: jika siaran di televisi itu bohong, cerita
alternatif ini pasti tidak.

Keadaan ini bertambah-tambah karena pemerintahan dengan cara militer juga
gemar menggunakan "perang urat syaraf'. Tak jarang disebarluaskan skenario
skenario yang palsu untuk membuat stigma atau memperkuat cap buruk, atau
menemukan kambing hitam. Ketika Peristiwa 15 Januari 1974 ("Malari")
meledak, orang-orang "Operasi Khusus" Letjen Ali Moertopo menyiarkan antara
lain melalui buku yang ditulis oleh Marzuki Arifin dan diterbitkan dengan
bentuk rapi—bahwa dalangnya adalah Partai Sosialis Indonesia dan Masyumi.
Sejumlah orang yang dianggap berhubungan dengan kedua partai yang sudah
dilarang oleh rezim Orde Lama itu pun ditangkap lagi oleh rezim Orde Baru.
Tanpa kesalahan.

Yang lebih sering adalah kisah tentang "bahaya laten Partai Komunis
Indonesia (PKI)", meskipun secara empiris tidak pernah jelas bagaimana itu
bentuknya ketika paham komunisme sudah runtuh, orang-orang PKI sudah tua,
dan bahkan para anggotanya yang hidup di pengasingan sudah terpecah-pecah.

Ketika pemerintah dan beberapa media massa mengaitkan Partai Rakyat
Demokratik (PRD) dengan komunisme, Letjen Syarwan Hamid, waktu itu Kepala
Staf Sosial Politik ABRI, bahkan memfitnah ayah Budiman Sudjatmiko, Ketua
PRD, sebagai "bekas PKI", meskipun kemudian terbukti bahwa keluarga ini
adalah keluarga Muslim yang taat.

Di samping tuduhan "bahaya laten ekstrem kiri", ada tuduhan bahaya "Negara
Islam", yang dengan serta merta dihadapi dengan senjata atau bentuk
kekerasan lain, tanpa perlu ditelaah lebih jauh apakah ini hanya satu ide di
sekelompok kecil yang tidak berdaya, atau sebuah gerakan gerilya yang
berarti.

Takhayul politik

Saya sering mengatakan bahwa dalam keadaan itu berkecamuk dengan mudah
"takhayul politik": sejenis cerita hantu modem yang digemari di kalangan
elite politik Indonesia.

Dulu, misalnya, Gus Dur pernah berbicara tentang adanya siasat "naga hijau"
dalam kerusuhan sosial di Tasikmalaya—meskipun kemudian tak diketahui
bagaimana membuktikannya. Pengecekan di lapangan menunjukkan bahwa peristiwa
itu bisa lebih dijelaskan dan analisis sosial (pertentangan kelas, represi
terhadap orang kecil oleh birokrasi, dan seterusnya), dan tak perlu ada
tuduhan "dalang", sehingga Agustiana dipenjarakan sampai sekarang secara
sewenang-wenang.

Kita juga pernah mendengar cerita tentang "langkah-langkah politik Benny
Moerdani", dan kini kita dengar "rekayasa Prabowo" di mana-mana—seakan-akan
segala hal hanya punya satu sumber. Ketika krisis moneter memukul kita, kita
pun dengan senang menerima "teori" bahwa semua ini basil rekayasa "Amerika",
atau "CIA", atau "orang Cina", dan tidak melihat fenomena baru dalam
perekonomian global: pasar finansial yang tak bisa dikendalikan pemerintah
mana pun, sebuah pasar yang punya volume perdagangan yang dahsyat dan cepat,
tanpa bersumber pada satu atau dua pusat.

Takhayul politik adalah cara termudah untuk melarikan diri dari kompleksitas
persoalan. Sayangnya, mengasyikkan, menegangkan, membesar-besarkan, dan
memperkuat ketakutan kita itulah peran desas-desus seperti halnya peran
cerita horor karya Stephen King.

Kita kini rentan terhadap itu karena trauma penjarahan dan pemerkosaan,
karena rasa tak pasti dan sikap tak percaya. Tapi, lebih lagi: kita umumnya
gampang termakan karena kita hidup bertahun-tahun tak terlatih untuk
menganalisis dan berpikir empiris.

Dan berkibarlah sumber pengetahuan kita lewat dogma, desas-desus, dukun.

22 Agustus 1998

sumber: http://goenawanmohamad.com/esei/desas-desus.html

Flying fox ning kyailanggeng 2

From: Agus Dwi Rahardjo

salah ilustrasi... :D

Flying fox ning kyailanggeng

From: twidiarto

Gajahnumpaksrigalamabur.com

Makan siang

From: Agus Dwi Rahardjo

ayam & bebek goreng mawon... :D

klecem

Senyumnya...

dewasa

Bersikap dewasa...

gelas

Gelas yg kreatif.. Anti mrucut...

Tuesday, December 29, 2009

dermaga

Cocok buat mancingggg...

porok

Porok kontemporer...

Ayati MES



---------- Forwarded message ----------
From: Mohammad Effendi

Who is she ?



---------- Forwarded message ----------
From: Mohammad Effendi

Who is she ?

kirik

Salad





From: Adhi Cahyono








Salad memang makanan yg menyehatkan.
 
check this out:
 


Iwak kekel dan iwak bloso

Dapat kiriman dari tukang jaring langganan di kali progo.

5 macam robust barb

Kethak

kemaren ke pasar darurat rejowinangun ada yg jual kethak bacem.. wah sip nih udah lama ga makan kethak.. walau full kolesterol tp gurihnya itu looo.. ha3... di daerah lain juga dikenal dengan nama blendo.

Over Land Semarang - Yogyakarta



Start:      Mar 25, '09 8:00p
End:      Mar 28, '09
Location:      Semarang & Jogjakarta
Over Land Semarang - Yogyakarta
25 – 28 Maret 2009

HEIIIIII… Tanggal 27 Maret HARPITNAS (Hari Kejepit Nasional) rupanya…

Lucu juga ya kalau kita ngabur keliling Semarang – Yogyakarta..

Dari mau wisata sejarah, wisata alam hingga wisata kuliner bisa di dapatkan diacara ini..!

     

 
    

Objek
Wisata :
  1. Lawang Sewu
  2. Klenteng SampoKong
  3. Candi Gedong Songo
  4. Sumur Gemuling
  5. Benteng Ngasem
  6. Goa Cerme (wah berbasah ria nih..)
  7. Candi Sari
  8. Candi Kalasan
  9. Keraton BOKO
  10. Goa Wisata Jati Jajar

     

Hanya
Rp 975.000 sudah termasuk :
  • 10 Objek Wisata
  • Transportasi AC (PP)
  • Tour Guide
  • Penginapan
  • Konsumsi selama perjalanan
  • Dokumentasi berupa 1 CD Photo
"Biaya2 diluar paket itu adalah beban peserta sendiri, termasuk makanan/minuman tambahan di luar yang telah disediakan OUTPACK"

     

        


Cara
  Daftarnya :
  1. Pendaftaran Terakhir 20 Maret 2009
  2. Isi Form pendaftaran & kirim ke outpack07@gmail.com
  3. Pembayaran langsung atau via transfer
    Pembayaran Tahap I sebesar Rp. 500.000, pada 16 Maret 2009
    Pembayaran Tahap II / pelunasan Rp 475.000, pada 20 Maret 2009
  4. Di transfer ke :
    Rekening BCA : No.1281043680, a/n Hernawan Iskandar.
    Rekening MANDIRI : No. 101-000-411555-4, a/n Nuh Bayu Putra.I



Perlengkapan  yang harus dibawa :
  • Pakaian Ganti secukupnya
  • Topi
  • Senter
  • Baju Hangat
  • Perlengkapan mandi
  • Sandal Gunung
  • Kacamata Item
  • Peralatan Solat
  • Jaket/Raincoat
  • Obat2an pribadi
  • Sunblock



Itenary Tentative
Hari Pertama
Kumpul jam 20.00 di Camp Outpack.. (Warung Buncit Raya, no 3-A)

Hari ke dua
Makan pagi dan bersih-bersih di Semarang, terus dilanjutkan dengan mengunjungi beberapa lokasi seperti LAWANG SEWU dan KLENTENG SAMPOKONG.. Setelah makan siang di kota Semarang, rombongan bergerak ke Yogyakarta yang tentu saja akan mampir sebentar di CANDI GEDONG SONGO.. Tiba di Yogyakarta rombongan langsung menuju penginapan 


Hari ke tiga
Hari ini diawali dengan bangun pagi menuju KERATON BOKO untuk melakukan trekking kecil disitus peninggalan bersejarah ini.. Tidak itu saja rombongan juga akan diajak untuk melihat situs sejarah lainnya CANDI SAMBISARI dan CANDI KALASAN.. Setelah itu rombongan akan menuju ke GOA CERME tuk melakukan penelusuran wisata dalam Goa ini.. seruuuu kan.. setelah berbasah ria, rombongan akan kembali ke penginapan untuk beristirahat. Malam.. tentu saja keliling Yogya-lah 

Hari ke empat
Hari ini Rombongan akan diajak melihat-lihat Peninggalan KOMPLEK TAMAN SARI dan kesempatan untuk mencari oleh-oleh.. Rombongan akan bertolak ke Jakarta melalui jalur Selatan dan akan mampir sebentar ke GOA WISATA JATIJAJAR di Kebumen.. setelah itu lanjut lagi ke Jakarta, kemungkinan tiba Jakarta tegah malam 


Informasi lebih lanjut bisa menghubungi :
  1. Bayu : 0818154826
  2. Hernawan : 0812-8045399
    Email : outpack07@gmail.com


Bagi teman2 sekalian yang sudah mempunyai situs Multiply, pendaftaran juga dapat juga dilakukan dengan mengirimkan pesan umum maupun personal ke alamat kami di http://outpack.multiply.com.