oleh: Goenawan Mohamad
DESAS-DESUS dapat berarti teror. Desas-desus juga bisa jadi akibat rasa
takut yang panjang. Ia bisa membuat orang waspada. Tetapi, ia juga bisa jadi
hanya sesuatu yang lahir karena rasa asyik dengan suasana tegang di
masyarakat.
Dulu ia disebut juga sebagai "kabar angin", karena tak jelas sumbernya dan
disampaikan dari mulut ke mulut. Kini penyebaran itu mengikuti perkembangan
teknologi: dari satu pesan internet ke pesan internet lain.
Cyber-rumour ini memang gejala masa informasi sekarang, ketika produksi
informasi jadi mudah dan kilat, demikian juga penyebarannya. Sudah banyak
yang berbicara tentang bahaya banjir bandang informasi, dan saya hanya akan
menambahkan sedikit. Problem dari cyber-rumour itu bukan saja dalam hal
jumlah, tetapi karena pesan-pesan intemet itu hampir tanpa memerlukan
tuntutan untuk mempertanggungjawabkan kebenarannya. Bahkan dapat dikatakan,
bahwa di zaman intemet ini, desas-desus menemukan sarananya yang paling
tepat. Malah lebih efektif.
Karena ia datang melewati satu sarana teknologi yang canggih, ada kesan
bahwa apa yang muncul dalam e-mail anda adalah sesuatu yang "benar", atau
punya makna yang lebih serius ketimbang sekadar iseng. Barangkali sebab ada
praduga bahwa yang mengirimkannya (lewat komputer, modem, dan
kaitan-kaitannya yang rumit) adalah orang yang terpelajar, dan itu berarti
orang yang punya informasi yang cukup.
Tetapi, pada umumnya kabar angin diterima sebagai "benar" karena ia cocok
dengan prasangka kita. Atau karena mengasyikkan kita. Atau karena meneguhkan
rasa takut kita. Sangat sedikit usaha untuk mengecek, apakah kabar yang
disampaikan itu benar atau tidak. Bahkan jarang dianalisis, masuk-akal atau
tidak. Dalam keadaan tegang, misalnya menjelang atau sesudah kerusuhan, atau
dalam suasana perang, kabar angin dapat dikatakan merupakan bagian yang tak
terelakkan dari kehidupan.
Para ahli psikologi Amerika (saya kutip dari sebuah buku klasik Gordon
Allport, "Prejudice") bahkan pernah mencatat bahwa dalam suatu kerusuhan
rasial di Detroit di awal tahun 1940-an, terbetik cerita yang ternyata
sepenuhnya hash halusinasi. Dalam kasus ini disebut bahwa seorang perempuan
menelepon polisi mengatakan bahwa dengan "mata kepala sendiri" ia melihat
seorang kulit putih dikeroyok mati oleh sejumlah orang hitam. Ketika polisi
datang ke tempat itu, yang mereka temukan adalah anak-anak perempuan sedang
bermain-main dan tidak ada bekas-bekas kekerasan apa pun. Sementara itu,
orang lain yang excited (atau asyik, atau takut) dengan ketegangan sosial
yang ada, dengan serta merta, meneruskan halusinasi tersebut.
Klinik Desas-desus
Apa yang harus dilakukan untuk menangkal desas-desus? Tidak banyak. Dan
karena ia berkaitan dengan sesuatu yang tanpa sumber, sesuatu yang tak
jarang menyangkut juga emosi para penyebar dan penerima, mungkin tidak ada
cara efektif untuk menangkalnya. Tetapi, ada juga usaha yang layak dicoba.
Di Amerika di masa Perang Dunia II dulu, surat-surat kabar membentuk "klinik
desas-desus". Dengan cara ini, media yang bersangkutan menampung pelbagai
kabar angin. Di balik meja redaksi ada tim yang mengadakan pengecekan serta
kemudian menyiarkan hasilnya.
Di Indonesia hal ini belum dilakukan—mungkin karena pers Indonesia belum
mendapat ide itu, atau bersikap bahwa desas-desus memang tidak perlu
dilayani. Tentu saja yang paling cocok untuk melakukan hal itu adalah sebuah
koran harian, terutama yang punya kredibilitas yang tinggi, karena
desas-desus berkecamuk dengan kecepatan yang besar dan menghilang dengan
tangkas pula. Saya tidak tahu apakah efektivitasnya akan sama bila dilakukan
oleh radio. Pada umumnya, orang lebih berpegang kepada yang tercetak:
informasi itu bisa disimpan dan diulang untuk diverifikasi.
Ada juga cara lain. Para pemilik komputer dengan internet—disertai relawan
yang cukup untuk bekerja—dapat menjalankan klinik yang sama, bila koran
tidak memadai. Mereka bisa membentuk satu jaringan pengirim dan penerima
pesan. Atau, kalau tidak, kelompok-kelompok masyarakat dengan jaringan
informasi itu membangun suatu basis data. Di dalamnya dicatat isi rumor dan
juga tanggal serta waktu ketika ia pertama kali kita dengar. Kemudian, kita
menganalisisnya: dengan membandingkan isi, subjek, dan objek kabar angin
itu, dari siapa datangnya dan apakah yang mengabarkan itu memperolehnya dari
tangan sendiri. Juga baik untuk melihat persamaan atau perbedaannya dengan
"info-info" yang lain, dapat ditilik apakah ada pola yang berulang atau
tidak. Kabar angin yang punya pola yang sama di waktu yang lain dan tempat
yang lain sangat besar kemungkinannya tidak berbukti.
Lebih canggih sedikit adalah menganalisis apa yang kira-kira diarah dengan
kabar angin itu—"diarah" dengan sengaja atau tidak. Apakah kabar angin itu
punya tendensi, sadar atau tidak, untuk memperkuat prasangka kita terhadap
kelompok lain (misalnya prasangka orang "pribumi" terhadap "Cina", dan
"Cina" terhadap "Muslim")? Ataukah kabar angin itu untuk meneror, sehingga
membuat ketakutan, gelisah, tidak berdaya? Atau datang dan orang sakit jiwa
dan iseng? Atau yang lain? Hasil analisis itu tentu saja bersifat hipotetis,
dan akan sangat baik bila disiarkan seraya mengundang tanggapan. Diskusi
tentang ini juga punya fungsi terapi: mengangkat rasa takut dalam sorotan.
Bukan sesuatu yang baru untuk dikatakan di sini bahwa desas-desus selama ini
adalah gejala ketidakpercayaan yang tinggi kepada informasi resmi. Sindrom
ini merupakan kelanjutan dari suatu masa—yang belum lama berselang—ketika
kita hidup dengan arus informasi yang dikendalikan ketat oleh kekuasaan
militer dan pemerintah. Di bawah Presiden Soeharto selama 32 tahun, akhirnya
desas-desus jadi komoditas yang diperlukan: semacam cerita alternatif ketika
ada asumsi umum bahwa surat kabar dan media elektronik tak boleh
memberitakan fakta yang sebenarnya. Maka, yang penting bagi informasi yang
tak terbuka itu bukanlah akurasinya, bukan pula benar atau tidaknya,
melainkan sifat perlawanannya: jika siaran di televisi itu bohong, cerita
alternatif ini pasti tidak.
Keadaan ini bertambah-tambah karena pemerintahan dengan cara militer juga
gemar menggunakan "perang urat syaraf'. Tak jarang disebarluaskan skenario
skenario yang palsu untuk membuat stigma atau memperkuat cap buruk, atau
menemukan kambing hitam. Ketika Peristiwa 15 Januari 1974 ("Malari")
meledak, orang-orang "Operasi Khusus" Letjen Ali Moertopo menyiarkan antara
lain melalui buku yang ditulis oleh Marzuki Arifin dan diterbitkan dengan
bentuk rapi—bahwa dalangnya adalah Partai Sosialis Indonesia dan Masyumi.
Sejumlah orang yang dianggap berhubungan dengan kedua partai yang sudah
dilarang oleh rezim Orde Lama itu pun ditangkap lagi oleh rezim Orde Baru.
Tanpa kesalahan.
Yang lebih sering adalah kisah tentang "bahaya laten Partai Komunis
Indonesia (PKI)", meskipun secara empiris tidak pernah jelas bagaimana itu
bentuknya ketika paham komunisme sudah runtuh, orang-orang PKI sudah tua,
dan bahkan para anggotanya yang hidup di pengasingan sudah terpecah-pecah.
Ketika pemerintah dan beberapa media massa mengaitkan Partai Rakyat
Demokratik (PRD) dengan komunisme, Letjen Syarwan Hamid, waktu itu Kepala
Staf Sosial Politik ABRI, bahkan memfitnah ayah Budiman Sudjatmiko, Ketua
PRD, sebagai "bekas PKI", meskipun kemudian terbukti bahwa keluarga ini
adalah keluarga Muslim yang taat.
Di samping tuduhan "bahaya laten ekstrem kiri", ada tuduhan bahaya "Negara
Islam", yang dengan serta merta dihadapi dengan senjata atau bentuk
kekerasan lain, tanpa perlu ditelaah lebih jauh apakah ini hanya satu ide di
sekelompok kecil yang tidak berdaya, atau sebuah gerakan gerilya yang
berarti.
Takhayul politik
Saya sering mengatakan bahwa dalam keadaan itu berkecamuk dengan mudah
"takhayul politik": sejenis cerita hantu modem yang digemari di kalangan
elite politik Indonesia.
Dulu, misalnya, Gus Dur pernah berbicara tentang adanya siasat "naga hijau"
dalam kerusuhan sosial di Tasikmalaya—meskipun kemudian tak diketahui
bagaimana membuktikannya. Pengecekan di lapangan menunjukkan bahwa peristiwa
itu bisa lebih dijelaskan dan analisis sosial (pertentangan kelas, represi
terhadap orang kecil oleh birokrasi, dan seterusnya), dan tak perlu ada
tuduhan "dalang", sehingga Agustiana dipenjarakan sampai sekarang secara
sewenang-wenang.
Kita juga pernah mendengar cerita tentang "langkah-langkah politik Benny
Moerdani", dan kini kita dengar "rekayasa Prabowo" di mana-mana—seakan-akan
segala hal hanya punya satu sumber. Ketika krisis moneter memukul kita, kita
pun dengan senang menerima "teori" bahwa semua ini basil rekayasa "Amerika",
atau "CIA", atau "orang Cina", dan tidak melihat fenomena baru dalam
perekonomian global: pasar finansial yang tak bisa dikendalikan pemerintah
mana pun, sebuah pasar yang punya volume perdagangan yang dahsyat dan cepat,
tanpa bersumber pada satu atau dua pusat.
Takhayul politik adalah cara termudah untuk melarikan diri dari kompleksitas
persoalan. Sayangnya, mengasyikkan, menegangkan, membesar-besarkan, dan
memperkuat ketakutan kita itulah peran desas-desus seperti halnya peran
cerita horor karya Stephen King.
Kita kini rentan terhadap itu karena trauma penjarahan dan pemerkosaan,
karena rasa tak pasti dan sikap tak percaya. Tapi, lebih lagi: kita umumnya
gampang termakan karena kita hidup bertahun-tahun tak terlatih untuk
menganalisis dan berpikir empiris.
Dan berkibarlah sumber pengetahuan kita lewat dogma, desas-desus, dukun.
22 Agustus 1998
No comments:
Post a Comment