Tempo Edisi 27 November 2007
Cerita Sampul
*
*Sepak Terjang Para Pendekar
/Sejarah kadang sekadar latar tempat dan waktu, kadang sang pendekat
bertemu tokoh sejarah. /
Lika-liku sejarah kerajaan tanah Jawa menawarkan sejuta pesona. Ada
perang berebut tahta, pemberontakan, dendam dan pengkhianatan,
kepahlawanan, intrik dalam lingkaran istana, serta cinta asmara.
Semuanya menyuguhkan sumber inspirasi yang tak akan pernah habis bagi
para penulis cerita silat.
Melalui daya imajinasi dan kreativitas para pengarang, pada era 1970-an,
kisah-kisah sejarah itu diolah menjadi ratusan jilid cerita silat. Ada
kisah yang sengaja disisipkan dalam cerita silat yang murni fiktif, ada
pula sejarah hanya sebagai latar tempat dan waktu dengan nama-nama tokoh
rekaan, dan ada pula yang mempertemukan tokoh rekaan dengan nama yang
ada dalam sejarah.
Singasari, Majapahit, dan Kesultanan Demak--untuk sekadar menyebut
contoh--adalah tiga kerajaan yang banyak dijadikan latar oleh pengarang
cerita silat. Alur perjalanan sejarah ketiga kerajaan itu
sendiri--termasuk jatuh-bangunnya, kejayaan dan kemundurannya,
kepahlawanan dan pengkhianatan--memang menawarkan bahan yang kaya untuk
cerita silat. Apalagi ditambah bumbu kisah cinta, yang membuat ceritanya
kian mempesona.
Novel /Pelangi di Langit Singasari/ karya Singgih Hadi Mintardja (SH)
Mintardja (1933-1999), yang dimuat di harian /Berita Nasional/
Yogyakarta pada 1970-an, adalah contoh cerita silat yang mengambil kisah
sejarah raja-raja Singasari, dari Ken Arok sampai raja terakhir Kertanegara.
Cerita ini pernah diangkat ke dalam sandiwara radio oleh Sanggar Prativi
pada 1980-an dan sempat difilmkan pada 1972 di bawah arahan Ishak Suhaya
dan dibintangi Emilia Contessa dan Pong Hardjatmo.
Novel ini tak cuma berisi perkelahian dengan jurus-jurus sakti, tetapi
juga cinta terpendam Mahesa Agni kepada perempuan cantik anak gurunya,
Ken Dedes. Ada pula sisi kemanusiaan seorang ibu yang menyamar menjadi
emban pengasuh Ken Dedes agar bisa dekat dengan anaknya, Mahesa Agni.
SH Mintardja memang pantas jatuh cinta pada Singasari. Sejarah Singasari
adalah sejarah yang berfondasi pada balas dendam, pertumpahan darah,
nafsu kekuasaan, dan cinta berahi seorang Ken Arok. Arok adalah pemuda
berandalan anak bromocorah yang dimitoskan sebagai sakti sejak dilahirkan.
Dengan keris ciptaan Empu Gandring, Arok membunuh Bupati Tumapel Tunggul
Ametung, lalu mempersunting istrinya, Ken Dedes. Di tanah Tumapel Arok
mendirikan Kerajaan Singasari. Ia mewariskan dendam pada raja-raja
sesudahnya, hingga raja terakhir Kertanegara. Perjalanan sejarah pun
menggelinding dengan pembunuhan demi pembunuhan atas raja-raja setelah
Ken Arok--atas nama dendam, dengan sebilah keris Empu Gandring.
Era setelah Singasari, yaitu Kerajaan Majapahit, tak kalah memikat
dengan Singasari, sebagai bahan dan latar cerita. Bahkan, Majapahit
memiliki tempat tersendiri di dunia cerita silat Nusantara. Dalam
sejarah, kerajaan ini pernah mengalami kejayaan --yang hingga kini masih
sering dibanggakan-- pada masa Raja Hayam Wuruk (1350 - 1389) dengan
Mahapatih Gajah Mada.
Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan
Majapahit kala itu meliputi hampir seluas wilayah Indonesia modern,
termasuk daerah-daerah Sumatra di bagian barat dan di bagian timur
Maluku serta sebagian Papua, dan beberapa negara Asia Tenggara.
Karena itu, tak heran jika sejumlah cerita silat mengambil Majapahit
sebagai latar. /Nagasasra Sabuk Inten/, salah satunya, adalah buah karya
SH Mintardja, yang terlahir setelah pengarangnya membekali diri dengan
pengetahuan sejarah /plus/ mendalami kitab /Babad Tanah Jawi/ yang
beraksara Jawa.
Seri cerita silat itu dimuat bersambung di harian /Kedaulatan Rakyat
/Yogyakarta pada 1970-an, sebelum diterbitkan dalam format buku kecil
sebanyak 28 jilid. /Nagasasra/ dengan tokoh utama Mahesa Jenar waktu itu
sempat merebut hati penggemar cerita silat dan disebut-sebut sebagai
adikarya Mintardja.
Soal nama Mahesa Jenar, yang diceritakan sebagai saudara seperguruan Ki
Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging, banyak pembaca yang mengira
benar-benar ada dalam sejarah Kesultanan Demak. "Padahal, saya
memperoleh nama itu begitu saja. Rasanya kalau diucapkan sangat indah
dan kalau didengar kok enak," ujar Mintardja dalam pengakuannya di buku
/Apa dan Siapa Orang Yogyakarta/ (1995).
/Nagasasra/ sebagian besar mengambil latar Kesultanan Demak. Namun,
cerita silat yang pernah diangkat sebagai sandiwara radio oleh Sanggar
Prativi itu sempat pula "mampir" ke Majapahit.
Catatan sejarah dari Cina, Portugis, dan Italia mengindikasikan bahwa
telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu
ke tangan Adipati Unus, penguasa Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan
1521.
Sisa-sisa Majapahit pun masih menempel di era Kesultanan Demak. Pendiri
Kesultanan Demak, Raden Patah, menurut babad-babad keraton Demak
dinyatakan sebagai anak raja Majapahit, Kertabhumi bergelar Brawijaya V
(1468-1478).
Pak Singgih --demikian panggilan akrab SH Mintardja-- tampaknya sadar
akan hal itu. Dalam /Nagasasra/ diceritakan juga mengenai perpindahan
pusat kerajaan dari Majapahit ke Demak. Raja terakhir Majapahit, Prabu
Brawijaya VII, memberikan izin kepada Raden Patah untuk memindahkan
pusat kerajaan. Brawijaya sendiri saat itu berkelana sampai di daerah
Bukit Seribu (Gunung Kidul).
"/Ketika Raden Patah kemudian memegang pimpinan kerajaan, dipindahkannya
pusat kerajaan dari Majapahit ke Demak, sehingga dengan demikian
berakhirlah suatu rangkaian pemerintahan yang berpusat di Majapahit/,"
tulis Mintardja.
Kehebatan prajurit Majapahit pun kerap disebut-sebut dalam /Nagasasra/.
Dalam beberapa bagian /Nagasasra Sabuk Inten/, Mahesa Jenar --prajurit
Demak yang mengundurkan diri karena perbedaan kepercayaan-- bertemu
dengan Ki Asem Gede, murid seorang prajurit Majapahit.
Pada episode ketiga, bagian 11, misalkan, tokoh Ki Asem Gede diceritakan
demikian:
/"Pada masa mudaku," sambung Ki Asem Gede, "memang aku pernah berguru
kepada seseorang yang dikenal dengan nama Ki Tambak Manyar."
Mendengar nama itu disebut-sebut, Mahesa Jenar terhenyak, sebab ia
pernah mendengar nama itu dari almarhum gurunya bahwa almarhum Ki Tambak
Manyar adalah seorang prajurit Majapahit yang tangguh. Karena itu, mau
tidak mau ia harus memandang Ki Asem Gede sebagai seorang yang berilmu,
baik dalam obat-obatan maupun ilmu tata berkelahi. Bahkan rupa-rupanya
ia memiliki kecerdasan otak yang tidak mengecewakan pula.
/
Bayang-bayang kebesaran Majapahit pun masih dibawa-bawa oleh Mintardja
dalam /Nagasasra/. Guru Mahesa Jenar, Kebo Kanigoro, misalnya, dikaitkan
dengan raja terakhir Majapahit, Hudhara yang bergelar Brawijaya VII.
Dalam episode 50, bagian 407, Mintardja menulis: /Kebo Kanigara sebagai
seorang keturunan Brawijaya, menjadi sedih pula. Bagaimanapun juga, ia
masih selalu merindukan kebesaran yang pernah dicapai oleh Majapahit
dahulu./
Rekan sezaman SH Mintardja, yakni Asmarawan Sukowati Kho Ping Ho
(1926-1994), rupanya tak bisa menghindar dari pesona Majapahit. Walau
ratusan jilid cerita silatnya mengambil latar dunia persilatan Tiongkok,
pria berdarah Cina kelahiran Sragen itu masih menyempatkan diri
mengambil latar Majapahit untuk beberapa novelnya. Sebut saja /Kemelut
di Majapahit/ dan /Satrya Gunung Kidul/.
/Kemelut di Majapahit/ mengambil latar Majapahit pada masa raja pertama
sekaligus pendiri kerajaan, Raden Wijaya bergelar Kertarajasa
Jayawardana (1293-1309). Tak lupa, serial ini menampilkan
senopati-senopati (perwira) legendaris yang kerap dijadikan tokoh dalam
cerita-cerita silat. Adipati Tuban Ronggo Lawe, misalnya. Ia digambarkan
sebagai senopati Majapahit yang terkenal memiliki kepandaian hebat dan
sakti mandraguna.
/Seperti dituturkan dalam Serat Panji Wijayakrama, Ronggo Lawe adalah
putera dari Bupati Sumenep yang bernama Banyak Wide, atau Aryo Wirorojo
dan kemudian berganti nama menjadi Aryo Adikoro. Ayah dan anak ini
merupakan senopati-senopati Mojopahit yang telah banyak berjasa,
terutama terhadap Sang Prabu Kertarajasa Jayawardana semenjak sang prabu
belum menjadi raja dan masih bernama Raden Wijaya./
Juga Kebo Anabrang, bekas senopati Singasari pada masa raja terakhir
Kertanegara. Anabrang pernah bertugas memimpin ekspedisi Pamalayu, untuk
menyeberang ke negeri Melayu. Setelah 20 tahun, ia kembali ke tanah Jawa
dan menemukan Singasari sudah runtuh. Anabrang kemudian mengabdi kepada
Kertarajasa.
/Pasukan ekspedisi yang berhasil baik ini membawa pulang pula dua orang
puteri bersaudara. Puteri yang kedua, yaitu yang muda, bernama Dara
Petak dan Sang Prabu Kertarajasa terpikat hatinya oleh kecantikan sang
puteri ini, maka diambillah Dyah Dara Petak menjadi isterinya yang kelima./
Sementara itu, /Satrya Gunung Kidul/ mengambil latar zaman kejayaan
Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk bergelar Sri Rajasanagara
(1350-1389) dengan patihnya, Gajah Mada. Di halaman pertama cerita silat
ini Kho Ping Ho menyebutkan: /Dan pada zaman keemasan Majapahit itulah
kisah di bawah ini terjadi./
Membaca /Satrya Gunung Kidul/, di halaman pertama akan kita temukan
kebijaksanaan Hayam Wuruk, yang selama 39 tahun mengendalikan
pemerintahan hingga Majapahit mencapai puncak kebesaran. Akan kita
temukan pula kegagahan Mahapatih Gajah Mada yang berhasil mempersatukan
Nusantara.
Di situ dipaparkan pula kemolekan Diah Pitaloka Citraresmi. Kecantikan
putri Ratu Dewata dari Kerajaan Pajajaran itu dilukiskan: /memang luar
biasa dan agaknya sukar dicari keduanya di dunia ini! Bahkan Dewi
Komaratih sendiri, Dewi Asmara yang terkenal sebagai bidadari tercantik
di surga, agaknya akan kagum melihat wajah dan bentuk tubuh Diah
Pitaloka! Tiada cacat celanya, dari ujung rambut di kepalanya sampai ke
tumit kakinya.../
Hayam Wuruk pun terpikat olehnya dan mempersunting Diah Pitaloka sebagai
permaisuri. Pitaloka pun meninggalkan Pajajaran, meninggalkan Sakri,
seorang senapati muda dari kerajaan Pajajaran yang sangat mencintainya.
Satu lagi yang cukup layak untuk disertakan di sini adalah /Senopati
Pamungkas/ terbitan PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta (Jilid 1: 2003;
Jilid 2: 2004). Cerita silat buah pena penulis sangat produktif,
Arswendo Atmowiloto, ini tebalnya 2.727 halaman (dua jilid) dan berlatar
akhir Kerajaan Singasari di bawah Raja Kertanegara dan masa awal
Majapahit di bawah Raden Wijaya.
Cerita silat ini menghadirkan banyak senopati dengan beragam watak,
perilaku, dan tingkat kesaktiannya. Ada Halayuda, senopati Majapahit
yang berwatak penjilat, dengan kemampuannya untuk merendah dalam rangka
mengelabui ambisinya yang sangat tinggi. Ada juga Anabrang dan
Ranggalawe --seperti tokoh dalam /Kemelut di Majapahit/--, keduanya
senopati Majapahit.
Senopati Pamungkas sendiri --yang berarti senopati terakhir-- adalah
gelar yang diberikan kepada Upasara Wulung dari Perguruan Awan. Ia
adalah salah seorang ksatria hasil godokan Ksatria Pingitan--semacam
perguruan yang berusaha melahirkan ksatria sejati yang dilatih ilmu
surat dan ilmu silat. Ia dinilai berjasa tampil sebagai pahlawan
menyelamatkan keraton dari krisis, seperti isu kedatangan Tamu dari
Seberang, pemberontakan raja muda Gelang-Gelang, kedatangan pasukan
Tartar dari Cina, kedatangan Ratu Ayu Bawah Langit, dan lain-lain.
Namun, di balik kepahlawanannya, keperkasaannya dalam persilatan, dalam
soal cinta asmara, Upasara Wulung harus tunduk kepada takdir dewata.
Bibit-bibit asmara kepada Gayatri, yang pernah ia selamatkan dari
tawanan musuh, harus ia relakan menjadi masa lalu. Menurut perhitungan
dan ramalan para pendeta, Gayatri harus menikah dengan Raden Wijaya,
yang kelak akan menurunkan raja-raja besar.
# *NGARTO FEBRUANA (BERBAGAI SUMBER)*
Wednesday, December 16, 2009
Sepak Terjang Para Pendekar
From: *syauqi yahya*
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment