From: <ertsanto@yahoo.com>
> Tak Selamanya Kami Jadi Pembantu
----------
Halimah (29) dan Erika (25) bertahan di kelas di kompleks Sekolah Indonesia di Singapura, Minggu (23/1) siang. Mereka asyik dengan komputer jinjing mereka, antara lain mengecek informasi dari Universitas Terbuka, tempat mereka kuliah. Sesekali, Erika, tenaga kerja Indonesia asal Metro Timur, Kota Metro, Lampung, berbicara dalam bahasa Inggris kepada Halimah, TKI asal Jalan Merdeka, Kecamatan Tanjungtiram, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara. Mereka mengambil jurusan yang sama, strata satu Penerjemahan Bahasa Inggris Universitas Terbuka (UT). "Tidak selamanya saya menjadi pembantu. Kan, saya pengen juga mendapat pekerjaan yang lebih baik di negara sendiri," ujar Halimah yang tahun ini memasuki semester II. Erika, yang sudah berkuliah empat semester, pun mengangguk. "Daripada we waste our time by going anywhere, ada laptop, lebih baik kami belajar," ujarnya.
Erika; Halimah; Sumarni Ramadanti (23) asal Adipala, Adipala, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah; dan Muzalimah Suradi (32) asal Pengkol, Kandangan, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, menjadi bagian dari 853 TKI pembantu rumah tangga yang berkuliah di Universitas Terbuka. Mereka mendaftar dan membayar 4 dollar Singapura (sekitar Rp 28.000) per SKS untuk mata kuliah yang diambil. Sejak UT membuka penerimaan untuk TKI di Singapura, jumlah mahasiswa terus meningkat dari 502 orang pada semester I-2009 menjadi 853 orang pada semester II-2010. Mereka mengambil berbagai mata kuliah yang diyakini bisa meningkatkan kompetensi demi bekal masa depan.
No comments:
Post a Comment