From: "A.Syauqi Yahya"
Nazar Mbalelo
Minggu, 24 Juli 2011 | 00:05 WIB
Putu Setia
Saya menyesal tidak bisa menonton ludruk Kartolo Mbalelo di Taman Ismail Marzuki baru-baru ini, padahal sudah diundang oleh produsernya. Kartolo bagi saya bukan sekadar pelucu tradisional, tapi juga orang yang cerdas dalam dunia yang digelutinya. Sama dengan Nazaruddin, mantan Bendahara Partai Demokrat, orang yang cerdas dalam dunianya: pengusaha politikus. Kini, setiap hari kita disuguhi ludruk politik: "Nazar Mbalelo".
Lakon "Nazar Mbalelo" tak kalah lucu, meski kadang membosankan lantaran lebih banyak tayangan ulangnya dibanding jumlah serialnya. Begitu cerdasnya Nazar, saya kira tak ada yang membantah. Ia lebih piawai dari ahli nujum karena bisa tahu kapan ia akan dicekal dan kapan ia harus berangkat ke luar negeri. Ia cerdik memilih alasan kabur: sakit jantung. Ia pernah menyebutkan beratnya turun 18 kg hanya setelah seminggu, sesuatu yang tak masuk akal. Toh sahabatnya, seperti Ruhut, sangat percaya pada akal-akalan itu.
Setelah Nazar dijadikan tersangka, babak terlucu dalam ludruk "Nazar Mbalelo" itu pun mulai tampak. Nazar seperti mencemooh aparat penegak hukum di Indonesia: "Memangnya gue takut jadi tersangka?" Buktinya, ia lebih berani tampil, tak lagi memakai mulut pengacara atau koleganya. Mula-mula lewat pesan singkat, lalu memakai BlackBerry. Setelah itu, ngomong sendiri. Ia sibuk menelepon wartawan, bahkan meminta disiarkan langsung di televisi.
Saya percaya, Nazar didampingi tim yang solid, yang setia melayani dia memberikan bahan omongan. Jadi, lebih hebat dari Presiden SBY, yang timnya--para menteri itu--sering lalai menjalankan perintah. Tim yang mendampingi Nazar pasti tahu, apa risiko dari melayani telewicara lewat telepon--apalagi disiarkan langsung. Keberadaannya bisa dilacak dengan akurat. Tapi tim Nazar pasti juga tahu bahwa aparat penegak hukum di Indonesia hanya sedikit yang punya alat pelacak yang mahal itu. Itu pun belum pasti alatnya lebih canggih dari yang dimiliki Nazar. Lagi pula kita maklum, pakar telekomunikasi yang kita miliki baru pandai berteori.
Suatu kali, Nazar menyelipkan jingle iklan roti di tengah omongannya. Saya segera membayangkan--gara-gara suka menonton ludruk dan Srimulat yang logikanya sederhana--para polisi di Indonesia sibuk mengamati pedagang roti, jangan-jangan orang itu adalah Nazaruddin. Lalu saya bayangkan tim Nazar terbahak-bahak, dan kepercayaan dirinya makin tinggi bahwa tak ada yang bisa melacaknya, apalagi menangkapnya.
Kepercayaan diri itu membuat Nazar jauh lebih unggul. Anak muda ini—ingat, usianya baru 32 tahun--sampai membuat Presiden SBY mengimbau-imbau agar ia bersedia pulang. SBY, presiden dari 200 juta lebih rakyat, tak berani memaksa Nazar pulang. Mendapat imbauan seperti itu, Nazar balik mengancam: mau pulang kalau Anas Urbaningrum dijadikan tersangka. Sebagai pencinta ludruk, saya yakin, kalaupun nantinya Anas dijadikan tersangka, Nazar tetap tak akan pulang. Jangan-jangan ancamannya lebih berani, misalnya: "Mau pulang kalau SBY jadi tersangka." Wah, luar biasa.
Kapankah pentas "Nazar Mbalelo" akan berakhir? Mungkin masih panjang, karena pemainnya orang top dan sutradara ludruk ini datang silih berganti dengan berbagai kepentingan. "Nazar Mbalelo" belum bisa ditutupi oleh ludruk "Antasari Gugat" atau "Mafia Pemilu" atau sejenisnya, karena pelakunya kalah tenar. Banyak petinggi negara bermain dalam "Nazar Mbalelo". SBY saja, yang dipilih rakyat untuk mengatur negara, kini sibuk mengatur partai hanya gara-gara Nazaruddin yang mbalelo.
http://www.tempointeraktif.com/hg/carianginKT/2011/07/24/krn.20110724.242982.id.html
--
No comments:
Post a Comment