Sunday, June 3, 2012

Tatapan Perempuan



From: A.Syauqi Yahya

Tatapan Perempuan
OPINI | 22 January 2011 | 10:32 19 2





1 dari 1 Kompasianer menilai Bermanfaat
________________________________

"Tatapan Perempuan" sebuah judul buku baru yang menggelitik ingin tahu saya membuatnya berpindah tempat dari etalase toko ke perpustakaan pribadi di rumah. Sebelum ia menghiasi rak, terlebih dahulu saya membaca isinya. Buku dengan 308 halaman ini diterbitkan bulan Oktober 2010 oleh Jalasutra sebuah penerbit yang berada di Jogjakarta. Buku ini bercover biru dengan gambar seorang perempuan cantik dengan tatapan yang tajam sambil memegang sebuah belati di tangan kanan dan timbangan di sebelah kiri.

Sebelum kita membicarakan isi buku ini saya ingin bercerita kenapa memutuskan membeli buku ini. Di ahir tahun 2010 bulan November-Desember saya mengikuti kelas Women Studies di Tobucil di Bandung. Kelas ini hanya saya ikuti 1 kali dari 6 pertemuan yang diadakan. Loh kenapa bisa? Iya jadwal pertemuan yang diadakan setiap hari selasa pukul 17.00 WIB sampai pukul 19.00 ini awalnya bisa saya ikuti. Ternyata di ahir tahun ini korban kekerasan terhadap perempuan dan anak berdatangan dengan deras disamping beberapa program yang harus diselesaikan membuat saya tidak bisa mengikuti jadwal yang ditetapkan. Sayang memang, apalagi kelas Women Studies tersebut difasilitatori oleh Haseena seorang kolumnis Times di New York.

Saat saya mengikuti kelas Women Studies pada pertemuan pertama kami membicarakan tentang Male Gaze (Tatapan Laki-laki). Dimana semua hal di dunia ini dilihat dengan tatapan laki-laki, apapun itu termasuk juga perempuan. Perempuan tak lebih hanya sebagai objek yang diinterpretasikan oleh laki-laki. Representasi terhadap perempuan yang dikonstruk oleh laki-laki ini sangat terlihat di media popler. Hampir semua iklan menjadikan perempuan sebagai komoditas. Tak peduli produk tersebut berhubungan langsung atau tidak dengan perempuan, tetap perempuan sebagai ikon dari produk yang dijual.

Haseena menanyakan apa yang dirasakan saat seseorang ditatap sekumpulan laki-laki dan kita berjalan dihadapan mereka. Semua menyampaikan pendapatnya masing-masing. Hampir semua perempuan yang mengikuti kelas tersebut menyatakan risi dan tidak enak. Meski hal itu bukan masalah kalaupun ada laki-laki yang memandang mereka. Sebaliknya pertanyaan tersebut ditanyakan kepada laki-laki dan sebagian besar mereka menganggap tidak masalah dan bahkan suka di tatap oleh perempuan. Pembicaraan selanjutnya mengalir membicarakan betapa perempuan selalu merasa tidak aman saat bepergian atau pulang tengah malam. Tidak hanya di Bandung saja tapi juga di New York dan beberapa tempat lain juga menempatkan bahwa lingkungan tidak aman buat perempuan untuk keluar malam.

Hal ini membuat kami mengungkap faktor penyebab kenapa Male Gaze sebagai bentuk partiarki begitu dominant dibeberapa wilayah dunia. Kami membicarakan faktor bahasa yang merupakan logika masyarakat terutama Islam dengan bahasa Arab yang memang begitu melakukan pemisahan yang ketat antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan dalam semua bentuk kata. Yang pada ahirnya memberikan pengaruh pada penomorduaan terhadap perempuan. Haseena memberikan perbandingan dengan bahasa Perancis yang juga melakukan pemisahan tapi tidak berdampak pada budaya masyarakat di Perancis, kenapa hal ini terjadi? Jangan-jangan budaya yang ada memang lebih dominant dalam mengkonstruk hal ini. Sebagian berpendapat agama juga merupakan bagian dari budaya sehingga mereka kawin mawin membentuk budaya yang diskriminatif terhadap perempuan. Untuk mengatasi hal itu perempuan harus memiliki pandangannya tersendiri (Female Gaze). Perbincangan menjadi semakin seru.

Selain itu sebagai bentuk Male Gaze, Haseena memperlihatkan gambar pahlawan super perempuan yaitu Wonder Women, Xena, dan tokoh yang lain yang begitu memperlihatkan konstruksi laki-laki. Hampir semua perempuan super ini berpakaian seronok dengan buah dada yang besar. Semua peserta diminta pendapatnya dan pembicaraan mengarah pada siapa sebenarnya yang menciptakan tokoh perempuan super tersebut. Ternyata semua pencipta tokoh tersebut adalah laki-laki dan tentunya mereka menciptakan itu untuk memuaskan kepentingannya.

Pada cerita pahlawan super laki-laki, apakah itu superman, spiderman, superboy, batman dan lain-lain tokoh perempuan pasangan mereka selalu ada dalam masalah dan identik dengan jeritan histeris mereka. Kalaupun mereka akan melarikan diri, selalu perempuan tersebut terjatuh agar penonton jadi lebih deg-degan. Perempuan di sini menjadi objek dan begitu tergantung kepada laki-laki. Kalau perempuan jadi super hero seperti Wonder Woman dan memiliki pasangan laki-laki maka pasangannya juga adalah seorang pahlawan yang akan melindunginya di saat-saat kritis. Seperti juga pahlawan perempuan super Sailor Moon yang menjadikan Taxedo Pahlawan Bertopeng sebagai penolong saat Sailor Moon berada pada titik kritis. Artinya perempuan meski jadi seorang pahlawan tetap tidak bisa mandiri.

Kostum-kostum pahlawan super laki-laki begitu diminati oleh anak-anak laki-laki. Mereka begitu bangga memakainya dan ingin mengikuti jejak kepahlawanan mereka. Bagaimana dengan kostum pahlawan perempuan? Hampir semua orang tua merasa keberatan kalau anak perempuan mereka berkostum seperti Wonder Women, Xena, Sailor Moon yang memang begitu minim. Kenapa tokoh ini tidak memakai kostum yang sopan? Mengapa perempuan pahlawan mesti berpakaian seronok? Jangan-jangan memang sebuah larangan halus yang mengatakan kepada perempuan untuk tidak menjadi pahlawan. Karena apabila perempuan menjadi kuat dan jadi pahlawan maka yang muncul juga adalah aspek liar dan seronoknya.

Pembicaraan tentang Male Gaze ini mengendap dalam benak saya dan pada saat melihat buku berjudul Female Gaze (Tatapan Perempuan) tentu saja saya begitu penasaran. Seperti apa isinya? Baru sebagian nih bacanya ntar deh…semoga besok tulisan bagian dua akan menyusul…

http://media.kompasiana.com/buku/2011/01/22/tatapan-perempuan/

--

No comments:

Post a Comment