> "Life is the art of drawing without an eraser."
>
> (John W. Gardner)
Mungkin ini masalah persepsi yang harus diuji lebih lanjut, atau dikait-kaitkan dengan studi antropologi, antropometri, sosiologi, psikoanalisis, dan ilmu-ilmu tentang manusia lainnya; tapi saya merasa bahwa perbedaan yang kentara antara saat-saat menunggu sesuatu dengan momen ketika sesuatu yang ditunggu itu akhirnya datang adalah justru dalam 'menunggu' itulah perasaan-perasaan yang diharapkan itu hadir, sedangkan setelahnya perasaan tersebut lepas, terbang, lalu hilang. Menunggu, walaupun pada kenyataannya adalah aktifitas pasif yang cenderung membosankan, namun pada prinsipnya merupakan kata kerja yang berarti memenjarakan, menyimpan, mengumpulkan, mengawetkan dalam kotak aneka hasrat, harapan, mimpi, angan-angan, lamunan, multirupa keinginan yang sifatnya murni, tumbuh, dan belum tercemar oleh realita. Maka proses ini juga memiliki ruang dan dimensinya sendiri yang terpisah dengan ruang dan dimensi ketika penantian itu berakhir atau ketika perasaan yang tertahan itu akhirnya lenyap. Ketika istri Odysseus dalam puisi karya Homer menunggu suaminya untuk pulang selama bertahun-tahun, dalam penantian itulah ia benar-benar merasakan perasaan 'tertinggi' terhadap suaminya yang mana justru akan dengan mudah menghilang jika keduanya bertemu suatu kali. Menunggu dengan sendirinya saya pahami sebagai aktifitas interior manusia di mana sebenarnya kita sedang mempermainkan perasaan kita. Perasaan cemas atau was-was lahir dari 'kelihaian' kita dalam mencocokkan setiap kemungkinan dari realita yang ada dengan perangkat ekspektasi yang telah membekali pikiran kita yang kemudian meleset, tidak sesuai, berbeda. Secara tidak sadar, manusia mengakui bahwa bagaimanapun juga kenyataan tidak akan pernah seperti yang dibayangkan; perasaan was-was itulah manifestasinya. Hidup ini bisa jadi adalah rangkaian proses menunggu yang terus-menerus. Kita terikat ke dalam sebuah sistem yang diatur oleh kekuatan maha hebat (kehendak Tuhan, atau mungkin, perjanjian antar-galaksi, keduanya) di mana 'menunggu' adalah hal prinsipil yang harus terjadi pada manusia dalam kaitannya utnuk menanggapi hal prinsipil lainnya yang dimiliki manusia, yaitu kehendak bebas. Apa yang selalu dialami oleh Nobita dan Aladdin tentu saja bertentangan dengan aturan main dari hidup, sampai kapanpun. Apa jadinya bila di dalam hidup kita tidak memiliki sesuatu yang ditunggu-tunggu? Apakah hidup akan tetap memiliki makna? Ataukah setiap insan akan tetap memiliki hidup? Mungkin inilah yang saya dan teman saya rasakan tiga hari lalu ketika ngobrol-ngobrol saat makan siang tentang masa depan ("Setelah ini apa?" "Mau ngapain?" "Apa lagi?") yaitu gelisah dan was-was untuk menunggu 'yang akan datang' itu datang. Tapi apa? Itulah masalahnya. Karena kegelisahan dan ke-was-was-an ini terasa begitu nyata ini berarti dalam 'menunggu' itu kita benar-benar berharap bahwa kenyataan akan sesuai dengan yang kita dambakan. Mungkin, mungkin, mungkin...
No comments:
Post a Comment