From: hernowo hasim
In Cold Blood
Oleh Hernowo
Nonfiksi yang dinovelkan.
"Bagaimanapun, sebuah ide bisa menyeberangi lautan. Ia bisa menyusup ke sebuah situasi yang memang pas untuknya—dan jadi kuat atau menakutkan." GOENAWAN MOHAMAD ketika mengulas ide-ide Gene Sharp yang kemungkinan besar ikut mempengaruhi terjadinya perubahan di Timur Tengah ("Ahimsa", Tempo 6 Maret 2011)
Hari Minggu 27 Februari 2011, tepat pukul 13.00 WIB, saya mengulang menonton film berkualitas Oscar, Capote, di saluran televisi HBO. Film ini dibuat pada tahun 2005. Ada tiga hal yang menarik perhatian saya terkait dengan film ini. Pertama, pemeran Truman Capote (1924-1984): Philip Seymour Hoffman. Kedua, teman Capote: Harper Lee—pengarang novel peraih penghargaan bergengsi "Pulitzer Prize", To Kill a Mocking Bird. Dan, ketiga, bagaimana Capote menjadikan kisah nyata (nonfiksi) dalam bentuk novel: In Cold Blood.
Mari kita mulai dengan yang ketiga: In Cold Blood. Indah, berkarakter, "menggigit" sekaligus mengerikan kan judulnya? Ketika saya mengajar matakuliah "Bahasa Indonesia" di ICAS (Islamic College for Advanced Studies) pada semester lalu, saya secara khusus memberikan materi "menulis mengalir" kepada para mahasiswa saya. Konsep "menulis mengalir" ini saya pijakkan pada genre-baru kepenulisan yang bernama "creative non-fiction" atau menulis nonfiksi secara kreatif.
Stephen Hawking, Oscar Lewis, Soe Hok Gie—untuk mengambil beberapa contoh—menurut Farid Gaban adalah para penulis nonfiksi yang berhasil menuliskan karya-karyanya secara cair-mengalir (berada dalam genre "creative non-fiction"). Truman Capote, bagi saya, adalah penulis hebat dari Amerika Serikat yang dapat dijadikan contoh awal bagaimana menulis nonfiksi secara kreatif. Hanya, berbeda dengan Hawking dan Lewis, Capote memang adalah seorang sastrawan atau pengarang fiksi yang dahsyat.
Film itu.
Dalam film Capote, saya benar-benar terpana ketika memahami bagaimana novel In Cold Blood dibuat. Novel ini terbit pada 1966 dan berhasil meraih Penghargaan Edgar yang kedua bagi Capote sebagai "Best Fact Crime Book". Capote merampungkan In Cold Blood selama empat tahun. Adegan di film yang paling menyentuh sekaligus menegangkan adalah ketika Capote mendengarkan kisah pembunuhan brutal dari sang pelaku di sel tahanan. Si pelaku bertutur seraya menitikkan air mata. Truman Capote sendiri merasakan ketegangan itu. Dia sudah menunggu sangat lama pengisahan itu.
Kemudian yang kedua, kita akan melihat serbasedikit tentang To Kill a Mocking Bird. Ketika Capote meriset data untuk In Cold Blood, dia ditemani oleh sahabat sesama pengarang, Harper Lee. Uniknya, Nelle—demikian panggilan akrab Harper Lee—hanya menulis satu novel selama hidupnya. Namun, lewat karyanya ini, Nelle berhasil membuat iri novelis lain. To Kill a Mocking Bird—menurut "The Guiness Book of World Records"—berhasil menjadi novel terlaris sepanjang masa. Novel ini berkisah tentang seorang negro yang dituduh membunuh dan dibela oleh pengacara kulit putih. Nah, Lee memotret seluruh kisah itu dalam pandangan seorang anak, usia 8 tahun, putri sang pengacara.
Bagaimana dialog yang tercipta antara Capote dan Lee—serta persahabatan yang mereka jalin—adalah sebuah "kehidupan" yang sangat mengasyikkan untuk ditonton. Philip Seymour Hoffman memang layak diganjar Oscar pada 2006. Dia memerankan Capote hampir tanpa cacat. Gaya bicara, tingkah laku, dan seluruh gerak-geriknya—meskipun saya tidak pernah melihat sosok-asli Capote—benar-benar seperti menghadirkan Truman Capote. Saya terkesan ketika dia memamerkan syalnya waktu mengunjungi pertama kalinya kantor kepolisian di Kansas—tempat pembunuhan itu terjadi. Gaya Hoffman yang genit dalam memerankan Capote sungguh menghentak.
Capote asli (kiri) dan Hoffman (kanan).
Alkhirnya, sampailah kita pada yang ketiga, yaitu film Capote yang berpusat pada sang pencipta In Cold Blood. Saya sangat menikmati ketika Capote menyusun novel In Clod Blood. Semula, kayaknya, Capote hanya ingin membuat berita tentang pembunuhan brutal itu di sebuah koran. Namun, semakin dia tenggelam dan merasakan drama pembunuhan berdarah itu, muncullah keinginannya untuk membukukannya. Saya tidak tahu apa alasannya. Saya menyaksikan bagaimana Capote melihat sendiri empat jasad yang sudah berada di dalam peti mati dengan kepala ditutupi perban. Ketika dia menggambarkan apa yang disaksikannya itu kepada sahabatnya, lewat telepon, saya dapat merasakan bagaimana Capote melukiskan hal itu di novelnya.
Ketika agennya kemudian meminta Capote untuk menuliskannya menjadi buku, Capote pun semakin tenggelam dan akhirnya bersahabat dengan salah seorang pembunuh. Menarik sekali bagaimana Capote mencari jalan agar dapat mengobrol dengan salah seorang pembunuh. Di samping kemudian saya dapat belajar bagaimana seorang pengarang melibatkan dirinya dengan materi yang ingin ditulisnya, saya juga dapat merasakan betapa pentingnya sebuah "public reading". Capote menulis In Cold Blood di Spanyol. Selama menuliskan novel itu, dia terus bersahabat dan berhubungan dengan sang pembunuh. Capote pun kadang berkunjung ke sel tahanan, mengobrol ringan, dan mengirim buku-buku kepada sang pembunuh.
Sebuah karya—baik berupa tulisan pendek maupun buku—akan menjadi sangat berpengaruh dan memiliki kekuatan luar biasa apabila sang penulis benar-benar mau dan mampu merasakan (terlibat dengan) apa yang ditulisnya. Bagi saya, Truman Capote—lewat film Capote—telah memberikan contoh (teladan) yang bagus bagaimana menjadi seorang penulis yang karyanya dapat memberikan pengaruh. Saya membayangkan andaikan banyak dari para penulis di Indonesia melihat film Capote dan belajar banyak darinya.[]
--
No comments:
Post a Comment