From: hernowo hasim
Labirin Impian: Mari Rame-Rame Membaca Karya Sastra (27)
Oleh Hernowo
Hasif Amini
"Dengan ironi yang dahsyat, dengan magnifica ironica, Tuhan memberi Jorge Luis Borges dua hal: buku-buku dan malam hari. Di tahun 1950-an, pada usia setengah abad, penyair besar Argentina itu jadi buta sepenuhnya. Tapi menarik bahwa dalam sajak yang ditulisnya tentang kejadian itu, ia memakai kata 'malam hari', la noche, untuk menggambarkan 'buta'," tulis Goenawan Mohamad dalam "Catatan Pinggir"-nya di majalah Tempo edisi 11-17 April 2011. "Catatan Pinggir"-nya itu dijuduli serderhana, "Melihat".
Jorge Luis Borges (24 Agustus 1899–14 Juni 1986) adalah seorang penulis Argentina yang dianggap sebagai salah satu tokoh sastra terbesar abad ke-20. Lebih dikenal sebagai penulis cerita pendek dan esai fiktif, Borges juga seorang penyair, kritikus, dan penerjemah. Mengenang Borges, bagi saya, adalah bagaikan memahami sosok sastrawan muda Indonesia, Hasif Amini. Hasif adalah penerjemah kumpulan cerita pendek Borges yang kemudian dijuduli Labirin Impian. Hasif—yang kini menjadi penanggung jawab rubrik puisi di suratkabar Kompas Minggu—menerjemahkan karya Borges itu secara hampir mendekati sempurna. "Nendang"—kata anak ABG sekarang—dan detailnya kena. Padahal karya-karya Borges tidak mudah dibaca.
Menurut Muhidin M. Dahlan, "Bagi Borges, imajinasi adalah semacam labirin yang tak pernah usai dijelajahi. Kehidupan Borges memang penuh eksperimen. Salah satu yang patut diingat-ingat adalah ketika dengan kepercayaan diri yang penuh dia menyusun pengantar, rangkuman, atau bahkan review yang berbobot dan kompleks atas sebuah buku yang sebetulnya tak pernah ada dan dituliskan. Hal itu dilakukan Borges saat kegelapan kian dekat menerkam penglihatannya" (lihat Kompas edisi Sabtu, 31 Januari 2009). Muhidin selanjutnya juga menunjukkan bahwa Borges pernah menjadi Kepala Perpustakaan Nasional Argentina pada tahun 1955.
Nah, bagi saya, Hasif Amini—yang mengingatkan saya pada Jorge Luis Borges—adalah seorang yang piawai dalam mengungkapkan pikirannya lewat kata-kata secara jernih dan indah. Saya suka membaca tulisan-tulisan pendeknya yang dijadikan pengantar untuk puisi-puisi yang terpilih dan ditampilkan di Kompas Minggu, khususnya yang ditayangkan di lembaran rubrik "Seni". Salah satu ungkapan pikirannya tentang puisi, yang kemudian saya abadikan di buku saya, Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza, adalah ungkapan pikiran yang pernah dimuat di lembaran—waktu itu bernama—"Bentara" Kompas. Sebelum Hasif menangani "Bentara", adalah Sutardji Calzoum Bachri yang berada di posisi itu:
"Mencipta(kan), membangun(kan) dunia, dengan pelbagai rupa, warna, cuaca, bunyi, bau, denyar, dan degupnya—itulah memang kerja yang dijalankan puisi. Dan itu tak mesti sebentuk peniruan atau pencerminan gejala-gejala dunia yang dianggap nyata. Itulah penciptaan artifak yang boleh berdiri sendiri dalam kepenuhannya: poesis, dalam sepatah kata Yunani kuno" (lihat Kompas edisi Jumat, 10 Januari 2003, dalam judul "Poesis"). Setahu saya, bacaan Hasif sangat luas dan kaya. Dia juga suka mengenalkan kepada khalayak pembaca sastra Indonesia tentang tokoh-tokoh sastra dunia yang jarang didengar oleh orang awam. Ada tokoh sastra dari India, Jepang, dan masih banyak lagi lainnya.
Jorge Luis Borges
Sebagai contoh, saya menemukan tulisannya tentang Chiyo-ni (1703-1775) seorang penyair Jepang. "Chiyo, artinya 'seribu tahun'," tulis Hasif, "adalah nama yang disematkan kepadanya saat lahir. Setelah dewasa ia biasa disapa Chiyo-jo; dan belakangan hari ketika ia mencukur habis rambutnya dan memutuskan menjadi seorang biarawati Buddhis sekte Jodo-Shinshu (Tanah Murni), di usia 52, barulah namanya menjadi Chiyo-ni. Menjelang akhir hayatnya, dengan tubuh yang ringkih oleh sakit, di antara beberapa teman perempuan sesama haijin, ia meninggalkan larik-larik ini: air bening dingin/ kunang-kunang terbang hilang/ senyap."
Nah, menurut Hasif, Chiyo-ni—konon puisi pertamanya lahir ketika ia berusia 6 tahun—adalah juga penyair yang menempuh jalan hidup haiku (haikai no michi). Dengan amat indah, Hasif menggambarkan haiku sebagai berikut, "Haiku adalah meditasi sekilas tentang kesementaraan. Haiku adalah momen leburnya batas antara diri dan alam. Haiku adalah kesahajaan bahasa di hadapan keajaiban bernama dunia. Haiku adalah perhatian spontan terhadap sejumlah detail tak terduga dari alam semesta. Haiku adalah … semua itu dan mungkin bukan itu semua."
Hasif pernah mengikuti program pertukaran antarbudaya AFS selama satu tahun di Selandia Baru (1988-89). Dia melanjutkan belajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, namun terputus di tengah jalan, dan akhirnya menjadi penerjemah dan penyunting lepas. Bersama Margaret dan Leon Agusta, dia menerjemahkan dan menyunting kumpulan puisi The Poets' Chant (1995) yang diterbitkan dalam rangka Istiqlal International Poetry Reading 1995. Dia menyunting kumpulan cerita pendek Para Pembohong (1996) dan menerjemahkan—sebagaimana sudah saya sebut di atas—sepilihan fiksi Jorge Luis Borges dengan judul Labirin Impian (1999).
Pada tahun 2007 Hasif diundang Departemen Luar Negeri Amerika Serikat untuk mengikuti International Visitor Leadership Program in the Arts and Literature, di mana dia bertemu dan bertukar pikiran dengan sejumlah sastrawan, redaktur, penerbit, dan lembaga penggerak sastra dan kesenian di Amerika Serikat. Selain bekerja sebagai kurator sastra di Komunitas Salihara, saat ini Hasif juga menjadi redaktur domain Indonesia pada Poetry International Web (www.poetryinternational.org).[]
--
No comments:
Post a Comment