Monday, December 14, 2009

Kisah 3 org tuli dan guru bisu

From: <twidiarto@gmail.com>


****************************************

Pada suatu ketika, hiduplah seorang penggembala miskin. Setiap hari ia
menggiring domba-dombanya ke bukit mencari rumput segar. Dari sana ia
memandangi desa tempat ia tinggal bersama keluarganya. Ia tuli, tetapi itu
tak jadi masalah baginya.Suatu hari istrinya lupa mengirim bungkusan makan
siangnya; juga tidak menyuruh anak mereka untuk membawakannya. Sampai tengah
hari kiriman itu tidak datang juga. Si penggembala itu berpikir, "Aku akan
pulang dan mengambilnya. Aku tidak dapat berdiam di sini sepanjang hari
tanpa sepotong makanan." Namun ia tidak dapat meninggalkan domba-dombanya.
Tiba-tiba ia memperhatikan seorang pemotong rumput di tepi bukit. Ia
menghampirinya dan berkata, "Saudaraku, tolong jaga domba-dombaku ini dan
awasi jangan sampai tersesat atau berkeliaran. Aku akan kembali ke desa
karena istriku begitu bodoh lupa mengirim makan siangku."Ternyata pemotong
rumput itu juga tuli. Ia tidak mendengar satu kata pun yang diucapkan, dan
sama sekali salah paham terhadap maksud si penggembala Katanya, "Mengapa aku
harus memberi rumput untuk ternakmu? Sedangkan aku sendiri memiliki seekor
sapi dan dua ekor kambing di rumah. Tidakkah kau lihat, aku ini harus pergi
jauh demi mencari rumput bagi ternak-ternakku.Tidak, tinggalkan aku. Aku
tidak ada urusan dengan orang sepertimu yang hanya ingin enaknya sendiri
mengambil milikku yang cuma sedikit ini." Ia menggerakkan tangannya dan
tertawa kasarSi penggembala tidak mendengar apa yang dikatakan oleh si
pemotong rumput.Katanya, "Oh, terima kasih kawan, atas kebaikkan dan
kesediaanmu. Aku akan segera kembali. Semoga keselamatan dan berkah tercurah
atas dirimu. Engkau telah meringankan bebanku." Ia segera berlari ke desa
menuju gubuknya yang sederhana. Di sana ia mendapati istrinya sakit demam
dan sedang dirawat oleh para istri tetangga.Kemudian, si penggembala itu
mengambil bungkus makanan dan berlari kembali ke bukit. Ia menghitung
domba-dombanya dengan cermat. Semuanya masih lengkap seperti semula. Ia lalu
melihat si pemotong rumput masih sibuk memotong rumput segar. Si penggembala
ini berkata pada dirinya sendiri, "Ah, betapa luar biasa pribadi si pemotong
rumput ini. Benar-benar dapat dipercaya. Ia sudah menjaga domba-dombaku agar
tidak terpencar bahkan tidak mengharapkan terima kasih dariku. Aku akan
memberinya domba pincang ini. Sebenarnya domba pincang ini akan kusembelih
sendiri, namun biarlah aku berikan pada si pemotong rumput itu agar bisa
jadi makan malam yang lezat bagi keluarganya Ia pun memanggul domba pincang
yang dimaksud di atas bahunya, menuruni bukit dan berteriak pada si pemotong
rumput, "Wahai saudaraku!, ini hadiah dariku, karena engkau telah menjaga
domba-dombaku selama aku pergi. Istriku yang malang menderita demam, itulah
mengapa ia tidak mengirimkan aku makan siang.Pangganglah domba ini untuk
makan malammu nanti malam; lihat domba ini kakinya pincang dan memang akan
aku sembelih!"Tetapi disisi lain, si pemotong rumput tidak mendengar
kata-katanya dan berteriak marah, "Penggembala busuk! Aku tidak tahu apapun
yang terjadi selama kau pergi. Jadi jangan salahkan aku atas kaki pincang
dombamu! Sedari tadi aku sibuk memotong rumput, dan tidak tahu mengapa hal
itu terjadi!Pergilah, atau aku akan memukulmu!"Si penggembala itu amat heran
melihat sikap marah si pemotong rumput, tetapi ia tidak dapat mendengarkan
apa yang dikatakannya. Tiba-tiba ada seorang melintas di antara mereka
dengan menunggang seekor kuda yang bagus. Si penggembala menghentikan si
penunggang kuda itu dan berkata, "Tuan penunggang kuda yang mulia, aku mohon
katakan padaku apa yang diucapkan oleh pemotong rumput
itu. Aku ini tuli, dan tidak tahu mengapa ia menolak pemberianku berupa
seekor domba ini, malah marah-marah seperti itu."Si penggembala dan si
pemotong rumput mulai saling berteriak pada si penunggang kuda untuk
menjelaskan kemauannya masing-masing. Si penunggang kuda itu turun dan
menghampiri mereka. Ternyata penunggang kuda itu pun sama tulinya. Ia tidak
mendengar apa-apa yang kedua orang itu katakan. Justru, ia ini sedang
tersesat dan hendak bertanya dimana dirinya saat ini. Tetapi ketika melihat
sikap keras dan mengancam dari ke dua orang itu, akhirnya ia berkata,
"Benar, benar, saudara. Aku telah mencuri kuda ini. Aku mengakui, tetapi aku
tidak tahu kalau itu milik kalian. Maafkan aku, karena aku tidak dapat
menahan diriku dan bertindak mencuri.""Aku tidak tahu apa-apa tentang
pincangnya domba ini!" teriak pemotong rumput."Suruh ia mengatakan padaku
mengapa pemotong rumput itu menolak pemberianku, " desak si penggembala,
"aku hanya ingin memberikannya sebagai penghargaan tanda terima
kasihku.""Aku mengaku mengambil kuda. Aku akan kembalikan kuda ini. "kata
penunggang kuda," tapi aku tuli, dan tidak tahu siapa di antara kalian
pemilik sesungguhnya kuda ini."Pada saat itu, dari kejauhan, tampak seorang
guru tua berjalan. Si pemotong rumput lari menghampirinya, menarik jubah
lusuhnya dan berkata, "Guru yang mulia, aku seorang tuli yang tidak mengerti
ujung pangkal apa yang dibicarakan oleh kedua orang ini. Aku mohon
kebijaksanaan anda, adili dan jelaskan apa yang mereka teriakkan."Namun, si
Guru tua ini bisu dan tidak dapat menjawab, tapi ia mendatangi mereka dan
memandangi ketiga orang tuli tersebut dengan penuh selidik.Sekarang ketiga
orang tuli itu menghentikan teriakan mereka. Guru itu memandangi sedemikian
lama dan dengan tajam, satu per satu hingga ketiga orang itu merasa tidak
enak. Matanya yang hitam berkilauan menusuk ke dalam mata mereka, mencari
kebenaran tentang persoalan tersebut, mencoba mendapatkan petunjuk dari
situasi itu.Tetapi ketiga orang tuli itu mulai merasa takut kalau-kalau guru
tua itu menyihir mereka atau mengendalikan kemauan mereka. Tiba-tiba si
pencuri kuda meloncat ke atas kuda dan memacunya kencang-kencang. Begitu
juga si penggembala, segera mengumpulkan ternaknya dan menggiringnya jauh ke
atas bukit. Si pemotong rumput tidak berani menatap mata guru tua itu, lalu
ia mengemasi rumputnya ke dalam kantong dan mengangkatnya ke atas bahu dan
berjalan menuruni bukit pulang ke rumahnya.Guru tua itu melanjutkan
perjalanannya, berpikir sendiri bahwa kadang kata-kata merupakan bentuk
komunikasi yang tidak berguna, dan orang mungkin lebih baik tidak pernah
mengucapkannya!

No comments:

Post a Comment