Thursday, April 5, 2012

Aku Ingin Belajar Menulis kepada G.M.



From: hernowo hasim

Aku Ingin Belajar Menulis kepada G.M.

Oleh Hernowo

 

 

G.M. adalah Goenawan Mohamad

Tiga buku barunya sungguh menggoda

Aku ingin punya skill menulis sebagaimana dia

Aku ingin belajar menulis lewat buku-bukunya

Bagiku, membaca adalah menyerap skill seorang penulis

yang bukunya kubaca secara menyenangkan

 

1

Tiga buku baru G.M. yang pertama menarik perhatianku adalah Indonesia/Proses. Buku ini berisi tentang esai-esai G.M. yang membincangkan indentitas dan keindonesiaan. Diawali dengan sebuah esai yang sangat menarik hati, "Dari Sebuah Kota Tua", G.M. bicara soal identitas dalam konteks "jati diri". Katanya, sifat "jati" (dari mana kata "sejati" mendapatkan  akarnya) adalah percobaan membentuk sesuatu jadi satu, tetap, transparan, dari sebuah kehidupan yang tidak saja beragam, tapi juga bergerak dalam silang-selisih.

 

"Esai-esai dalam buku ini mencoba menguraikan tesis dasar yang saya sebut tadi," tulisnya. "Beberapa di antaranya saya terbitkan kembali dari buku saya, Eksotopi, dengan perbaikan di sana-sini. Beberapa yang lain belum pernah dimuat di buku mana pun." Meng-update tulisan lama bagaikan meng-update diri. Dalam esai-esai G.M., saya tetap dapat menemukan sesuatu yang baru, yang bergerak, yang terus mencari—meski, sekali lagi, itu berasal dari masa lalu. Itulah menariknya bisa menuliskan masa lalu. Masa lalu yang dituliskan tidak akan hilang. Bahkan, ia dapat dimunculkan kembali dengan membawa hal-hal baru.

 

Walter Monginsidi

 

 

2

Buku selanjutnya yang kubaca adalah Tokoh + Pokok. Unik sekali identitas yang diberikan kepada buku kedua yang kubaca ini. Menurut G.M., judul itu sesungguhnya tidak orisinal. Ia diambil dari sebuah rubrik majalah Tempo—yang menurut G.M.—yang banyak dibaca orang: "Pokok dan Tokoh". Lantas G.M. membalik dan mengubah tanda "&" menjadi "+". Entah apa maksudnya. Namun, yang lebih menarik, rubrik "Pokok dan Toloh" itu pun tidak orisinal. Ia berasal dari buku versi Indonesia karya A. Teeuw yang terbit pada awal 1950-an dan kini tak beredar lagi. Buku A. Teeuw itu berisi tentang para pengarang Indonesia. Judulnya Pokok dan Tokoh.

 

Ada sebelas tokoh Indonesia yang diulas G.M.: Bung Hatta, Bung Karno, Chairil Anwar, Gus Dur, Kartini, Nurcholsih Madjid, Pramoedya Ananta Toer, Rendra, Sjahrir, Tan Malaka, dan Wolter Mongisidi. Saya terpesona dengan sebuah tulisan yang berjudul "Monginsidi, Chairil, Kartini". G.M. menuliskan tiga tokoh itu dalam irama cepat dalam satu tarikan napas—sreeettt! Pendek, dijadikan tiga babak, namun ketiga babak itu saling berkaitan dan memiliki benang merah yang terang benderang.

 

Ketiga tokoh itu mati muda. Walter Monginsidi—yang memiliki panggilan akrab "Woce"—wafat ditembak Belanda di Pacinang, Makassar, pada 5 September 1949, ketika usianya baru 24 tahun. Chairil Anwar—yang telah mengubah seluruh paradigma puisi Indonesia—meninggal di usia 27 tahun. Dan Raden Ajeng Kartini, yang terkenal dengan surat-suratnya yang berhasil merekam zamannya, wafat pada usia 25 tahun. Ketika menuliskan ketiga tokoh itu, G.M. menarik tiga kesimpulan penting. Namun, bagi saya yang terpenting adalah ini: "Memang hanya yang muda yang tak gentar hidup dalam gelombang."

 

G.M.

 

3

Buku ketiga, buku yang paling tebal (Indonesia/Proses: 120+viii halaman, Tokoh + Pokok: 76+x), adalah Marxisme, Seni, Pembebasan (248+x). Saya baru sempat membaca sekilas. Saya tahu bahwa sudah sejak lama G.M. mendalami Marxisme. Dia mendalami Marxisme lewat cara yang tidak harus menjadi Marxis. Puluhan tahun lalu, saya pernah terkesan dengan resensinya atas film Missing—tentang wartawan yang hilang (yang dilacak oleh istri bersama ayah si wartawan itu dan ternyata dia ditembak mati oleh sebuah rezim Marxis) di sebuah negara di Amerika Selatan (kalau tak salah) yang disutradarai oleh seorang yang (lagi-lagi kalau tak salah) berideologi Marxis—di majalah Tempo. Resensi G.M. atas film Missing sungguh mengoyak jiwa saya.

 

Dalam Marxisme, Seni, Pembebasan G.M. menulis, "Kesenian, terutama sejak awal abad ke-20, adalah bagian dari ikhtiar emansipasi yang makin disadari. Pelbagai pemikiran, baik di Indonesia maupun di luarnya, merumuskannya dengan berbagai cara." Nah, G.M.—lewat kepiawaiannya menulis—menunjukkan kepada saya bagaimana dia "merumuskan" (baca: menuliskan) hal-hal pelik seputar Marxisme dalam bentuk yang selalu enak dikunyah. "Saya sadar bahwa beberapa hal dari yang saya sertakan di sini mungkin sudah kedaluwarsa—saya ambil dari pergulatan ide-ide di tahun 1960-an—tapi saya yakin masih layak diikuti sebagai telaah. Setidaknya telaah sejarah gagasan di Indonesia." Sebuah tulisan—tulisan yang diracik secara menarik—meski dari khazanah lama, tak pernah mati.[]

--

No comments:

Post a Comment