From: hernowo hasim
The Power of Reading: Aku Ingin Belajar Menulis kepada G.M. (2)
Oleh Hernowo
Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin, jadi pucat rumah dan kaku pohonan? Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin: Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan! (Chairil Anwar, "Malam di Pegunungan")
Dalam buku The Power of Reading: Insights from the Research, Dr. Stephen D. Krashen, ahli linguistik yang meneliti tentang keampuhan membaca, menunjukkan hubungan erat antara membaca dan menulis. Menurut hasil penelitiannya, hampir sebagian besar penulis yang andal menyatakan bahwa kemampuan menulisnya diperoleh atau berasal dari kegiatan membaca. Kegiatan membaca yang tertata memberikan efek kepada dapat dimunculkannya kemampuan menulis yang ada di dalam dirinya.
Hasil penelitian Dr. Krashen itu, menurut saya, terbukti pada diri Goenawan Mohamad. Setelah kemaruk membaca "Catatan Pinggir" G.M. yang seminggu sekali muncul di majalah Tempo, dan setelah mencicipi tulisan-tulisan G.M. di tiga buku barunya, saya menemukan tiga hal dalam diri G.M. Sebelum saya mengungkapkan ketiga hal itu, ingin saya sampaikan di sini bahwa di usia 70 tahunnya—yang dirayakan dengan penerbitan tiga buku sekaligus itu—G.M. masih akan menerbitkan 9 (ya: sembilan!) buku lagi. Dahsyat kan?
Nah, tiga hal yang ada di dalam diri G.M., pertama, adalah ihwal kekayaan dan kecanggihan bacaannya. Di setiap kali membaca "Catatan Pinggir"-nya, saya tentu menemukan buku yang dibacanya yang benar-benar asing bagi saya. Buku-buku yang dibaca G.M. itu unik dan, kadang, berasal dari khazanah literatur yang tidak mudah saya tebak. Lewat kekayaan dan kecanggihan bacaannya itulah G.M.—merujuk ke Dr. Krashen—berhasil mengumpulkan kosakata yang luarbiasa banyaknya. Dan kosakata itu bukan hanya banyak tetapi juga sangat bervariasi sehingga G.M. sangat piawai dalam diksi (memilih kata).
Kedua, G.M. amat piawai dalam mengunyah teks-teks sulit—puisi, gagasan Marx, buku-buku sastra, dll.—sekaligus terampil pula dalam mengolah teks-teks sulit menjadi sebuah paparan tertulis yang kemudian berhasil dikontekskan dengan keadaan yang sedang berlangsung. Perhatikan ini: silence sounds no worse than cheers diolahnya menjadi diam yang menyertai mereka yang mati, sehabis "bumi menutup kuping". Yang diolah G.M. itu adalah puisi A.E. Housman yang berjudul "To an Athlete Dying Young". Puisi itu digunakannya untuk menunjukkan kekagumannya kepada orang-orang yang mati muda—Monginsidi, Chairil, dan Kartini—tapi sudah berhasil memberikan arti bagi negeri.
Ketiga, seperti dikatakannya sendiri bahwa sebuah tulisan baru akan menarik apabila seorang pembaca "masih bisa menemukan sesuatu yang kemudian menggiringnya untuk dipikirkan dan diperdebatkan kembali, terus-menerus"di dalam tulisan yang dibacanya. Setiap kali saya membaca tulisan G.M., diri saya ini terus bergolak. Pikiran mengembara ke mana-mana dan menginginkan sesuatu yang tak pasti. Saya jelas ingin sebuah kepastian. Namun, ketika membaca tulisan-tulisan G.M., kepastian itu tak saya inginkan. Tulisan G.M. mendorong saya untuk mempertanyakan sesuatu yang, seakan-akan, itu sudah tak lagi layak untuk dipertanyakan.
Seperti Chairil Anwar, G.M. seperti "bocah cilik" ketika menjalankan kegiatan membaca dan menulis. "Kiranya memang hanya si 'bocah'—dan mereka yang masih punya ke-bocah-an dalam dirinya—yang tak takut untuk melakukan hal-hal yang ganil: 'main kejaran dengan bayangan'. Merekalah yang tahu akan sia-sia untuk berkejaran dengan hal-hal yang mustahil dikejar, tapi asyik. Mereka di luar batas," tulis G.M. ketika menafsirkan sajak Chairil tersebut.
G.M.—hingga usianya yang 70 tahun—masih terus asyik berkejaran dengan teks-teks sulit yang disajikan oleh para penulis top! Dan, lihat apa yang diperolehnya? Sederetan teks yang berisi renungan-renungan mendalam yang, kadang, menonjok keras para pembacanya.[]
--
No comments:
Post a Comment