Thursday, July 19, 2012

NURCHOLISH MADJID: Model Berpikir Sejati (1)


From: hernowo hasim

NURCHOLISH MADJID: Model Berpikir Sejati (1)

Oleh Hernowo

 

 

(Nurcholish Madjid adalah) orang yang seluruh hidupnya dibaktikan untuk mengajarkan kebaikan.

—Jalaluddin Rakhmat

 

Cak Nur adalah satu di antara sedikit orang yang memahami Islam secara benar.

—K.H. A. Mustofa Bisri

 

 

Tahun 2011 ini merupakan tahun yang benar-benar baru dalam kehidupan saya. Pada tahun ini, saya ingin membangun sebuah "sekolah"—sekolah berpikir. Sekolah ini akan saya namai "Sekolah Berpikir Mengikat Makna". Cara saya menjalankan sekolah ini adalah dengan menggunakan "mesin" mengikat makna yang sudah saya konsepkan—dan perbaikan atas konsep tersebut terus saya lakukan hingga kini—sejak pertengahan 2001.

 

Ketika tercetus ide untuk mendirikan sekolah ini—sesungguhnya ide itu berasal dari sahabat saya, Haidar Bagir—saya pun ingin mencari "model" yang dapat saya gunakan sebagai sosok-konkret teladan berpikir. Alhamdulillah, pada awal tahun ini, saya dapat bertemu dengan sosok-menarik almarhum Cak Nur yang dikenalkan oleh Ahmad Gaus AF lewat bukunya, Api Islam Nurcholish Madjid.

 

Saya sudah lama mengenal pemikiran Cak Nur sejak bekerja di Penerbit Mizan pada 1984. Waktu itu saya mengenal pemikirannya lewat buku suntingan Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam (1986). Kemudian, saya membaca karya Cak Nur yang di dalamnya ada pemikiran luar biasanya, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (1987). Terakhir, saya sempat menggarap buku kumpulan tulisan-lamanya—ketika Cak Nur masih berusia sangat muda—bersama Agus Edi Santosa, Islam, Kerakyatan, dan Keindonesiaan (1993).

 

Mengapa karya Ahmad Gaus yang membuat saya kemudian memilih Cak Nur sebagai "model" berpikir untuk sekolah berpikir saya? Meskipun saya terlambat membacanya—buku Ahmad Gaus terbit pada Agustus 2010—saya harus bersyukur karena di buku itulah sosok seorang pemikir itu terumuskan secara sangat baik. Saya tertarik membaca buku tersebut, di awal tahun ini, gara-gara memembaca resensi buku itu, yang juga sangat bagus di harian Kompas, yang ditulis oleh Komaruddin Hidayat—Rektor UIN Syarif Hidayatullah.

 

Nah, Cak Nur menjadi seorang pemikir sejati, menurut saya, karena dia rajin sekali membaca dan menulis. "Cak Nur adalah penulis yang baik dan produktif sehingga memudahkan bagi mereka yang pro atau kontra untuk melakukan klarifikasi," tulis Komaruddin Hidayat. Cak Nur menguasai khazanah klasik pemikiran Islam, kitab kuning, teori-teori sosial, dan metodologi riset. Kemampuan Cak Nur dalam membaca teks jelas luar biasa.

 

Jadi, mari kita renungkan sejenak hal ini: Bayangkan putra-putri Anda yang masih kecil, pada saat ini, kelak—entah kapan—dapat mewarisi keteladan Cak Nur, yaitu memiliki kemampuan luar biasa dalam membaca dan menulis seperti Cak Nur dan—lewat kemampuan tersebut—putra-putri Anda kemudian dapat mengembangkan pemikirannya sebagaimana Cak Nur mengembangkan pemikirannya dalam konteks masa depan.[]

--

No comments:

Post a Comment