From: hernowo hasim
Sir Alan dan Pendidikan (Keterampilan) Bisnisnya
Oleh Hernowo
Pukul 06.00 hingga hampir 07.00 WIB, Selasa pagi kemarin 14 Juni 2011, saya menonton The Apprentice gaya London yang ditayangkan oleh "BBC Knowledge". Semestinya saya menontonnya Senin malamnya pukul 20.05 WIB. Namun, saya tak sempat dan baru bisa menonton tayang-ulangnya. Saya harus menontonnya karena itu merupakan episode terakhir—ajang dua finalis menunjukkan kebolehannya dalam berbisnis.
Adalah Sir Alan Sugar, pebisnis hebat, yang mengendalikan acara tersebut. Dia berhak memecat setiap kandidat yang berprestasi buruk dalam sebuah tim bisnis. Dia pula yang memberi tugas kepada setiap tim—biasanya dibagi dua tim—untuk melakukan sebuah kegiatan bisnis. Tim yang menghasilkan uang yang lebih sedikit dari tim yang satunya, harus merelakan salah satu anggotanya dipecat alias gugur dalam berkompetisi.
Sir Alan Sugar
Itulah cara Si Alan mencari satu orang pemenang yang nantinya akan dipekerjakan olehnya di perusahaan miliknya. Sang pemenang harus bertarung mengalahkan 14 atau lebih lawannya untuk mencapai puncak. Setiap minggu, ke-14 kandidat itu diberi tugas bisnis untuk menjual barang. Setelah dipecah menjadi dua tim, setiap tim harus menentukan pimpinannya. Secara tim, mereka pun harus menjual sesuatu sebanyak mungkin.
Episode terakhir The Apprentice yang saya tonton menampilkan dua finalis: Kate dan Yasmina. Kate ahli dalam berkomunikasi dan penjualan, sementara Yasmina adalah pemilik restoran dengan 26 karyawan. Dalam berkegiatan bisnis, tentulah Yasmina yang lebih berpengalaman ketimbang Kate. Untuk menjadi pemenang, Kate dan Yasmina perlu bertarung dalam memasarkan produk cokelat. Keduanya harus merancang merek, iklan, dan rasa cokelatnya.
Kate, finalis
Setelah rancangannya selesai, keduanya harus mempresentasikan di depan para pebisnis yang sudah makan asam garam. Kate menamakan produk cokelatnya "Coco D'Amour" dan Yasmina "Cocoa Electric". Kegagalan Kate—yang dinilai oleh para pebisnis—adalah dalam memberikan harga produknya. Kate mematok harga 13 pound, sementara milik Yasmina hanya 6 pound. Menurut para pebisnis, Yasmina gagal dalam memberikan rasa di dalam produknya sementara Kate berhasil.
Akhirnya, Sir Alan memenangkan Yasmina. Tak jelas kenapa dia memilih Yasmina. Menurut saya, di dalam rancangan Yasmina—meski rasa cokelatnya tak enak—ada ide. Yasmina berani menunjukkan ide yang tidak biasa. Cokelat produknya dinamakan cokelat elektrik untuk memberikan "strum" (kejutan). Meski gagal dalam rasa, Yasmina berhasil dalam memberikan sesuatu yang baru, yang lain, yang belum ada. Sementara itu, Kate seperti kehabisan ide dan mengulang sesuatu yang sudah ada.
Yasmina, finalis
Bagi saya, The Apprentice yang dipandu Sir Alan—dan mungkin juga yang dipandu Donald Trump (saya belum pernah menonton soalnya)—adalah sebuah pendidikan bisnis yang benar-benar menekankan pada skill bukan sekadar knowledge. Pengetahuan (knowledge) jelas sangat penting, namun hanya keterampilan bisnislah yang akan membuat calon pebisnis memiliki keberanian untuk berkreasi memunculkan ide-ide baru.
Tekanan yang ditimbulkan oleh pendidikan bisnis yang lebih menitikberatkan pada keterampilan pun akan lebih dahsyat ketimbang yang mengunggulkan pengetahuan. Tekanan itu bersifat holistik. Saya dengar SBM-ITB sudah mulai memadukan skill dan knowledge secara seimbang. Bahkan, yang menggembirakan, para mahasiswa SBM-ITB sudah diminta untuk, secara real, merancang bisnis dengan berkolaborasi dengan para peneliti yang sedang melakukan studi di setiap jurusan di ITB. Ini jelas menarik!
Jika Anda sempat menonton The Apprentice gaya London itu, Anda akan merasakan sekali betapa pendidikan yang terlalu menekankan pengetahuan akan gagal dalam menghasilkan para lulusannya yang kreatif dan inovatif. Mungkin sudah saatnya sekolah-sekolah kita lebih mempertimbangkan porsi yang seimbang antara skill dan knowledge dalam menyusun kurikulum untuk setiap mata pelajaran yang ada. Atau sudah? Maaf, jika saya salah.[]
--
No comments:
Post a Comment