From: hernowo hasim
Tahajjud Cinta Seorang Hamba: Mari Rame-Rame Membaca Karya Sastra (7)
Oleh Hernowo
Ya Rabbi Muhammadkan hamba, Muhammadkan hamba
Perdengarkan tangis bayi padang pasir di kelahiran hamba
Alirkan darah Al-Amin di sekujur badan hamba
Sarungkan tameng Al-Ma'shum di gerak perjuangan hamba
Itulah sepenggal sajak Emha Ainun Nadjib yang berjudul "Muhammadkan Hamba Ya Rabbi". Sebuah sajak yang indah dan menggetarkan. Sajak itu terdapat dalam buku-unik Emha, Seribu Masjid Satu Jumlahnya: Tahajjud Cinta Seorang Hamba. Inilah satu-satunya buku Emha yang mencampurkan prosa dan proisi. Seorang pengamat sastra asal Bandung, Agus R. Sarjono, ketika meresensi buku Emha ini, mengatakan bahwa buku tersebut merupakan karya "proisi".
Agus menyamakan pembangunan istilah "proisi" itu dengan "combro". Combro adalah makanan khas Bandung. Terbuat dari singkong dan di dalam singkong yang dibuat sekepal itu ditanamkan oncom yang dicampur dengan cabai rawit. Rasa combro memang pedas dan ada sedikit aroma kemangi. Bandung memang terkenal dengan makanan yang namanya dibentuk dari akronim. Ada "gehu", "nasgor", dan masih banyak lagi yang lain.
Kembali kepada Emha Ainun Najib. Ketika saya dulu menjadi editor di Penerbit Mizan, saya menekuni karya-karya asli. Saya jarang menyunting karya terjemahan. Hampir seluruh karya cendekiawan Indonesia pernah saya tangani—Islam Aktual-nya Kang Jalal, Islam, Keindonesiaan, dan Kerakyatan-nya Cak Nur, Paradigma Islam-nya Kuntowijoyo, Islam Rasional-nya Harun Nasution, Lentera Hati-nya Ustad Quraish Shihab, Fiqih Sosial-nya K.H. Ali Yafie, Islam Inklusif-nya Alwi Shihab, dan masih banyak lagi lainnya. Karya-karya Cak Nun—panggilan akrab Emha—termasuk yang paling banyak saya tangani ketika menjadi editor di Penerbit Mizan.
Saya menangani karya Emha sejak karya-pertama yang diterbitkan Penerbit Mizan, Dari Pojok Sejarah. Naskah ini digarap oleh Mizan ketika penulisnya sedang "kabur kangingan" di negeri Belanda. Ketika sahabat saya, Haidar Bagir, membuat sinopsis untuk buku Emha ini, Haidar bilang bahwa membuat sinopsis sebuah buku yang dibuat seorang seniman bagaikan menciptakan sebuah karya. Saya bisa merasakan apa yang dikatakan Haidar. Dan sinopsis yang dibuat Haidar untuk Dari Pojok Sejarah memang lain daripada yang lain. Haidar mencoba memasuki "alam" Cak Nun. Haidar berusaha menggunakan "bahasa" Cak Nun untuk menyampaikan pesan buku tersebut.
Saya sendiri belajar banyak dari buku-buku Cak Nun yang sebagian besar berasal dari kumpulan tulisannya di media massa. Bukunya, Secangkir Kopi John Pakir, adalah buku yang berasal dari kolom pendeknya di harian Masa Kini Yogya. Kolom ini ditulis setiap hari oleh Cak Nun. Tulisan-tulisan Cak Nun rata-rata mengalir enak dibaca. Dan hampir setiap buku Cak Nun yang diserahkan ke Mizan tentu sudah lengkap dengan judulnya. Judul yang berasal dari Cak Nun sudah jadi—tak perlu diolah lagi karena sudah "menggigit" dan mencirikan karakter penulisnya.
Cak Nun—bersama Ustad Quraish dan Kang Jalal—saya anggap sebagai "guru" saya menulis. Lewat karya-karyanya, saya belajar bagaimana menulis yang memenuhi kaidah reasoning (Kang Jalal), mengalir (Cak Nun), dan cermat dalam memilih kata yang bermakna (Ustad Quraish). Saya bersyukur sempat menjadi editor karena dengan menjadi editor saya diberi peluang untuk membaca buku-buku yang saya edit secara cermat dan tidak sekadarnya. Bahkan, yang paling menguntungkan saya adalah ketika saya diberi kesempatan bertemu dengan penulis yang bukunya saya sunting untuk membicaraan banyak hal.
Setiap kali saya ke Yogya, saya tentu menyempatkan diri berkunjung ke Patangpuluhan tempat Cak Nun dan bolokurowo-nya berkumpul. Saya pernah diberi cerita oleh salah seorang sahabat dekatnya ketika Cak Nun menulis. Katanya, Cak Nun senantiasa menyediakan kertas warna-warni. Ada hijau, merah muda, biru, dan kuning. Setiap kali selembar kertas itu selesai diisi oleh tulisan, Cak Nun mengganti warna kertas. Saya hanya menebak ada kemungkinan itu karena Cak Nun ingin melibatkan emosinya. Mendengar dan mengetahui pengalaman menulis seperti itu tentu sangat bermanfaat. Saya bisa "meniru" dan melakukan sesuatu yang tidak biasa ketika menulis.
Karya-karya Cak Nun yang saya sukai adalah Yang Terhormat Nama Saya, Sastra yang Membebaskan, dan Oples. Yang Terhormat Nama Saya adalah buku kumpulan cerpen. Oh ya, Cak Nun juga menerjemahkan puisi-sufi, Suluk Pesisiran. Dan dalam buku Sastra yang Membebaskan, saya menemukan tulisan Cak Nun yang menarik dan "menggigit". Mari kita rasakan bersama:
Seorang Ketua Jurusan di Fakultas Sastra sebuah universitas tekemuka pernah bertanya dalam sebuah diskusi sastra: "Bagaimana cara sastra membebaskan seratus juta rakyat Indonesia dari kemiskinan?"
Pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan mengemukakan bahwa sastrawan sebaiknya mengumpulkan beras atau mengadakan malam dana dan hasilnya dibagi-bagikan kepada kaum miskin. Namun, ini adalah jawaban konyol untuk pertanyaan yang tidak proporsional.
Pertama, ia sebaiknya melihat beda letak konteks antara kemiskinan dan proses pemiskinan. Dan kedua, sastra bukan pengurus zakat: ia, dengan kodrat dan keterbatasan jangkauannya, paling tidak bisa menjadi suatu tenaga sejarah manusia (halaman 3).[]
No comments:
Post a Comment