Saturday, May 12, 2012

Kasus Harry Potter: Reading for Pleasure (2)



From: hernowo hasim

Kasus Harry Potter: Reading for Pleasure (2)

Oleh Hernowo

 

 

"Ketika film-film produk Hollywood mulai banyak menayangkan atau memproduksi film yang ceritanya bersumber dari buku-buku yang sebelumnya populer dan menjadi best-seller, ternyata hasilnya satu sama lain justru saling terkait. Buku fiksi dan film Harry Potter karya J.K. Rowling, misalnya, dewasa ini sangat populer dan digemari ratusan juta remaja di berbagai belahan dunia, termasuk remaja di kota metropolitan Surabaya.

 

"Terlepas apakah film merupakan faktor daya tarik remaja untuk membaca novelnya, namun pada kenyataannya ada peningkatan pembelian novel-novel best-seller ketika gedung bioskop memutar film yang ceritanya diangkat dari novel-novel tersebut.

 

"Data yang diperoleh dari penerbit Gramedia Pustaka Utama, misalnya, mencermati beberapa buku seperti Harry Potter dan Laskar Pelangi meningkat penjualannya ketika beredar pula filmnya di bioskop. Buku pertama hingga keempat Harry Potter terhitung mengalami beberapa kali cetak ulang.

 

"Buku pertama Harry Potter tercatat telah dicetak ulang mulai Januari tahun 2000 hingga dengan Mei 2003 sehingga total penjualan 132.424 buku. Buku kedua, sejak cetakan pertama April 2001 hingga 2003 laku 128.324 buku. Demikian juga dengan buku ketiga dan keempat sejak awal diterbitkannya hingga tahun 2003 sudah terjual menembus 100.045 buku.

 

 

"Walaupun dari fakta ini belum dapat disimpulkan tentang peningkatan jumlah pembaca novel di kalangan remaja, namun paling tidak bisa didapatkan suatu gambaran sementara tentang perilaku membaca remaja khususnya membaca untuk kesenangan (reading for pleasure) yang tidak terlepas kaitannya dengan produk budaya massa lainnya." (Rahma Sugihartati, Membaca, Gaya Hidup dan Kapitalisme, halaman 13-14)

 

Rahma menunjukkan data (fakta) menarik di atas terkait dengan studi perilaku membaca remaja urban: bagaimana mereka mengembangkan kegiatan membaca untuk kesenangan dan bagaimana kegiatan membaca menjadi pilihan alternatif untuk mengisi waktu luang. Hal itu perlu diteliti lebih jauh karena, lewat penelitiannya, Rahma menemukan empat fakta menarik: Pertama, dalam dua-tiga tahun terakhir ada kecenderungan perilaku membaca untuk kesenangan di kalangan remaja urban tumbuh cukup pesat.

 

Kedua, peningkatan membaca untuk kesenangan itu dibarengi dengan kegiatan mengoleksi berbagai merchandise yang ada kaitannya dengan bacaan yang mereka gemari. Ketiga, di tengah kehidupan masyarakat urban yang mengisi waktu luangnya dengan sekadar hura-hura, ada sebagian remaja yang memilih alternatif mengisi waktu luang dengan membaca. Studi yang dilakukan oleh Jennifer Campbell (2007) menyebutkan bahwa aktivitas mengisi waktu luang menjadi persoalan penting dalam proses perkembangan selama periode masa remaja.

 

Dan, keempat, sebagaimana saya tunjukkan secara verbatim di atas, rupanya buku yang dapat difilmkan dapat mengubah perilaku (menarik minat) remaja untuk membaca.

 

Silakan berhenti sejenak di sini. Menurut saya, data (fakta) yang dicoba diungkapkan oleh Rahma ini selayaknya menjadi perhatian para guru di sekolah. Pertama, apakah di sekolah tersedia buku-buku yang menarik minat para remaja untuk membaca sebagaimana ditunjukkan oleh Rahma? Kedua, apakah tugas membaca yang kadang diberikan oleh para guru—khususnya guru Bahasa Indonesia—benar-benar cocok untuk para remaja? Dan, ketiga, bagaimana dengan buku-buku yang ada di perpustakaan sekolah—menarik minat para remaja untuk membacakah?[]

--

No comments:

Post a Comment