Sunday, May 6, 2012

Kehendak Hujan



From: dewanto

Pesta malam Tahun Baru ini dirancang baik sekali. Berlangsung di tempat terbuka, di tepi danau buatan dengan  langit langsung sebagai atapnya. Dari tiga bagian tempat utama, hanya dua yang beratap, cuma panggung dan tempat makan, sementara untuk tamu undangan dibiarkan bebas dengan udara terbuka. Tujuannya jelas, sepanjang pertunjukkan,  undangan  boleh melihat guyuran bintang dan agar di puncak perayaan nanti, semua bisa melihat pesta kembang api secara leluasa.
   
Tetapi seluruh artistik yamg ditata dengan segenap rencana dan kelelahan itu berantakan cuma karena satu kata: hujan. Bukan sembarang hujan, tetapi hujan yang datang sepanjang sore, petang hingga malam. Hujan yang menipu pula. Sebentar reda, sebentar datang. Sebentar-sebentar meja dan kursi-kursi itu dilap dan diduduki, untuk sebentar kemudian memaksa udangan kabur lagi. Akhirnya tempat makan itulah yang malah menjadi panggung utama. Ke sanalah seluruh undangan berkumpul sementara panggung utama terletak di puluhan meter sana.
   
Tepat ketika penonton bubar itulah tiba giliran saya untuk berceramah. Dan tempat ceramah saya adalah di panggung utama yang jauh di sana dengan tak ada siapa-siapa di depan saya, dengan hujan mengguyur, dengan pengunjung yang kedinginan dan lebih sibuk menikmati santap malam dengan anak-anak kecil yang  sudah meniup-niup terompet pula. Jelas sudah, saya hanya akan menceramahi diri sendiri dan suara saya pasti hanya akan saya dengar sendiri. Kepada panitia pun saya tak bisa berharap banyak karena keadaan mereka  jauh lebih menderita katimbang saya. Katimbang mengurus nasib seorang penceramah, mereka pasti lebih sibuk mengamankan aneka peralatan dan kamera yang bertebaran di sana-sini. Saya sungguh bisa mengerti. Karena konon, ketika seorang kameraman terbenam di tengah banjir, yang pertama kali ditanyakan oleh pemilik televisi bukanlah nasib manusianya, tapi nasib kameranya.
   
Saya mengerti rasanya berceramah tanpa didengarkan. Kesakitannya seminggu masih terasa. Dan ceramah tahun baru ini, sedang bersiap menjadi salah satu ceramah yang sakit itu, dengan hujan sebagai biang keroknya. Mungkinkah saya aka memarahi hujan? Mungkin saja. Tapi pasti tak ada gunanya. Ada kebesaran di luar sana yang kita hanya bisa terbawa arusnya, baik suka maupun terpaksa. Hujan yang besar itu, yang jika sedang benar-benar ingin turun, ia akan turun juga tak peduli apakah ada pawang hujan sedang komat-kamit di bawahnya.
    Jika pawang hujan saja menyerah, apalagi saya yang cuma penceramah. Maka satu-satunya cara hanya ikut arus kekuatannya. Saya memilih tidak berdiri di panggung utama. Ke mana audiens itu pergi ke sanalah saya mengikuti. Di depan kerumunan yang gaduh berebut tempat berteduh itulah saya ingin berceramah. Di tengah hujan saya mengambil payung dan menyeret kursi sebagai panggung kecil saya. Ini tentu sebuah upaya yang tak mereka duga karena saya sendiripun tak menduga. Ide itu saya pungut begitu saja buah  keadaan darurat.
   
Hasilnya, undangan yang gaduh itu menangkap cara darurat ini sebagai usaha yang walau tidak untuk dikagumi tetapi setidaknya layak dihargai. Mereka tahu, rasanya belum pernah ada penceramah berpayung, berhujan-hujan sambil naik kursi begini. Mereka menangkap pesan yang saya kirim bahwa demi untuk didengarkan orang ini sampai berusaha seperti ini. Dan pelan-pelan mereka mendengarkan. Saya memang sangat ingin didengarkan. Hujan itu memang kuat, tetapi keinginan saya juga kuat. Ada kekuatan besar di luar sana yang setiap kali menguji hidup kita. Tetapi ada juga kekuatan besar di dalam ini untuk berusaha dan bertahan. Kekuatan itu bernama keinginan.
   

(Prie GS/bnol)

sumber: http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/layar/2011/01/13/758

--

No comments:

Post a Comment