Sunday, August 26, 2012

Saatnya WNI Etnis Tionghoa Memberi Bukti

http://politik.kompasiana.com/2012/01/24/saatnya-wni-keturunan-tionghoa-memberi-bukti/

Hampir semua angkatan sekitar tahun 1960-an sampai dengan 1990-an WNI
Keturunan Tionghoa di Indonesia saat ini sama sekali tidak bisa
berbahasa Tionghoa. Ini adalah sedikit dari dampak kebijakan
pemerintahaan rezim Soeharto yang sangat rasialis, yang berupaya
memusnahkan budaya Tionghoa dari muka bumi Nusantara dengan berbagai
macam produk peraturan yang dibuatnya.
Dengan alasan untuk membendung arus komunisme pasca penumpasan PKI
dengan G30S-nya, Soeharto yang mengkudeta Soekarno dengan cara tak
langsung itu mulai menerapkan banyak peraturan yang isinya melarang
semua budaya yang berasal dari Tiongkok. Termasuk agama, bahasa, huruf
dan adat-istiadatnya. Sasarannya adalah semua orang Tionghoa di
Indonesia tanpa kecuali. Seolah-olah semua Tionghoa itu identik dengan
komunis atau berpotensi besar sebagai pembawa ajaran komunis. Padahal
fakta berbicara lain, bahwa sebagian besar WNI Tionghoa adalah pedagang. Sedangkan komunisme tidak menolerir perdagangan yang memperkaya
individu-individunya. Juga fakta bahwa banyak WNI Tionghoa yang
beragama, baik itu Kristen, Kong Hu Cu, Budha, maupun Islam.
Begitu phobia-nya Soeharto, atau begitu antinya dia terhadap semua hal
yang bernuansa Tionghoa, sampai-sampai agama Kong Hu Cu pun digolongkan
sebagai ajaran yang tidak diakui dan gerak-geriknya diawasi negara.
Dampaknya hak asasi umat Kong Hu Cu untuk menikah dan dicatat dalam
dokumen negara dicabut.
Ironisnya hal tersebut terus berlangsung sampai 3 dasawarsa kemudian,
ketika ajaran komunis sudah tidak laku lagi di dunia, bahkan termasuk di negara-negara asalnya seperti Rusia dan RRT. Kebijakan pemerintah rezim Soeharto yang antisemua yang berunsur Tionghoa – kecuali uangnya itu –
baru berakhir ketika Soeharto berhasil dipaksa turun dari tahtanya, dan
dimulainya era reformasi.
Diawali dengan kebijakan yang dilakukan oleh Presiden Abdurrachman Wahid (Gus Dur) yang mencabut semua peraturan pemerintah yang melarang dan
atau membatasi pengekspresian budaya dan adat-istiadat Tionghoa,
mengakui eksistensi agama Kong Hu Cu, menyatakan Imlek sebagai hari
libur fakulatif (1999), yang kemudian diikuti oleh Presiden Megawati
yang meneruskan kebijakan Gus Dur tersebut, dan menyatakan Imlek sebagai hari libur resmi nasional (2003).
Dalam sejarah dunia, hanya Indonesia sajalah satu-satunya negara yang
secara formal sistematis melalui peraturan-peraturan negara yang resmi
melarang suatu budaya dan agama mengekspresikan dirinya secara bebas.
Sedemikian ketat dan kerasnya sampai mempersamakan pelanggaran dari
larangan tersebut sama dengan tindak pidana kejahatan terhadap negara.
Yang ditugaskan untuk mengawasi dan menjalankan peraturan-peratus
rasialis tersebut bukan lagi polisi, tetapi militer.
Alasan Soeharto untuk mengadakan larangan-larangan tersebut terkait
dengan upaya mencegah aliran komunisme terbukti hanyalah kamuflase dari
sikapnya yang cenderung anti-Cina. Yakni setelah lewat 3 dekade, ketika
komunisme hampir punah dari muka bumi, bahkan sampai Indonesia kembali
menjalin hubungan diplomatiknya dengan RRT pada 8 Agustus 1990, semua
peraturan tersebut tidak pernah ditinjau ulang apalagi dicabut, sampai
pada waktu kekuasaannya diakhiri dengan paksa pada Mei 1998.
Kita masih ingat bahwa pada masa-masa itulah, antara lain dalam formulir keimigrasian yang harus diisi bagi setiap orang yang hendak masuk ke
negara Indonesia dari luar negeri harus memperhatikan tentang
barang-barang yang dilarang masuk. Dalam daftar tersebut terdapat
barang-barang yang memang lazim dilarang di setiap negara, antara lain
senjata api, bahan peledak, dan narkoba. Hanya di Indonesia, waktu itu,
adalagi tambahan yang di mana pun di dunia ini tidak ada, yakni semua
macam bentuk aksara dan bahasa Cina, baik dalam bentuk tulisan, suara,
maupun video. Jadi, seolah-olah aksara Cina, dan sejenisnya itu
segolongan dengan barang-barang haram semacam narkoba itu.
Mulai April 1966 semua sekolah-sekolah yang mengajar bahasa Tionghoa
yang berjumlah sekitar 629 buah ditutup paksa dengan menelantarkan
272.782 murid dan 6.478 gurunya.
Menindaklanjuti perintah Presiden Soeharto, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan lewat keputusannya tertanggal 6 Juli 1966, melarang
sekolah-sekolah swasta menerima murid-murid eks-sekolah Tionghoa ,
sedangkan sekolah negeri hanya diperkenankan menerima kurang dari lima
persen dari jumlah muridnya (Tionghoa dalam Pusaran Politik, Benny G.
Setiono, Transmedia Pustaka, 2003) .
Melalui Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, tanggal 6 Desember
1967,  tentang Agama, Kepercayaan dan Adat-Istiadat Cina, pemerintah RI
melarang semua bentuk upacara agama, kepercayaan dan istiadat budaya
Cina dilakukan secara terbuka. Perayaan tersebut hanya boleh dilakukan
dalam lingklungan keluarga secara terbatas dan diawasi secara ketat.
Sejak saat itulah perayaan Tahun Baru Imlek berikut semua perayaan dan 
hari-hari raya yang berkaitan dengannya dinyatakan terlarang. Tarian
naga (liong), barongsai, Cap Go Meh, dan lain-lain tiba-tiba berubah
menjadi tindakan kejahatan yang bisa membuat yang nekad merayakannya
bisa berurusan dengan militer dan intel negara.
Supaya pelarangan tersebut bisa benar-benar efektif, pemerintah juga
menerbit beberapa peraturan lainnya, seperti Instruksi Menteri Dalam
Negeri Nomor 4555.2-360 Tahun 1968 tentang Penataan Kelenteng, dan Surat Edaran Menteri Penerangan Nomor 02./SE/Ditjen/PPG/K1968 yang melarang
penerbitan dan percetakan tulisan/iklan beraksara dan berbahasa Cina.
Pemerintahan Soeharto juga mengeluarkan peraturan yang mendorong semua
WNI Keturunan Cina untuk tidak menggunakan nama Cina-nya, dengan
menggantikannya dengan nama lain (Barat, Jawa, dan sejenisnya). Di masa
inilah kemudian diberlakukan kewajiban semua WNI Tionghoa harus memiliki SBKRI sekalipun keluarganya  telah turun-temurun adalah WNI, sudah
punya Akta Kelahiran WNI dan KTP WNI.
Begitu alerginya atau phobianya Soeharto dengan semua yang berbau
Tionghoa, sampai-sampai penyebutan nama Tionghoa (untuk WNI keturunan
Tionghoa) dan Republik Rakyat Tiongkok (sebutan untuk negara Tiongkok)
pun dirasakan perlu harus diubah dan diatur dengan peraturan khusus
untuk diubah menjadi Cina dan Republik Rakyat Cina.
Ironisnya di dalam UUD 1945 sebutan yang dipakai justru adalah
"Tionghoa", bukan Cina. Koran berbahasa Tionghoa, Sin Po adalah koran
pertama yang mengganti sebutan "Hindia Belanda" dengan nama "Indonesia", dan juga adalah koran pertama yang memuat teks lagu "Indonesia Raya"
ciptaan W.R. Soepratman, pada November 1928. Sin Po berganti nama
menjadi Warta Bhakti, kemudian berakhir tragis selamanya karena dibredel Soeharto pada 1965 pasca G30S/PKI.
Agar orang-orang keturunan Tionghoa benar-benar dapat diawasi secara
efektif dan ada dasar hukumnya untuk itu dikeluarkan Instruksi Presidium Kabinet RI Nomor 37/U/IN/6/1967 untuk membentuk sebuah badan inteljen
khusus dengan nama Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC). Dengan demikian secara langsung, maupun tak langsung Soeharto menganggap WNI keturunan
Tionghoa itu bukan bagian dari bangsa dan negara seutuhnya, tetapi
adalah bagian dari masalah bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu
diperoleh pembenaran untuk mengatur mereka secara diskriminatif.
Inteljen negara pun segera bekerja dengan menciptakan stigma dan
sterotip negatif terhadap etnis Tionghoa sebagai komunitas yang
anasionalis, eksklusifisme, "binatang ekonomi", dan lain-lain
sejenisnya. Sehingga setiap saat jika diperlukan dapat dilakukan
rekayasa atau memanfaatkan suatu konflik antarindividu yang salah
satunya beretnis Tionghoa untuk memicukan kerusuhan anti-Cina yang luas, anarkis, dan destruktif.
Fenomena ini sengaja dipelihara, agar semakin mengkristalnya suatu
stigma negatif terhadap etnis Tionghoa. Dengan demikian etnis ini selalu bisa dijadikan tumbal politik setiap kali pemerintah membutuhkannya.
Ketika pemerintah gagal dalam menjalankan suatu kebijakan (ekonomi),
misalnya harga barang-barang kebutuhan pokok yang naik, maka yang selalu dipersalahkan adalah etnis ini. Agar rakyat dapat menumpahkan
kemarahannya bukan kepada pemerintah, tetapi terhadap etnis Tionghoa.
Sepanjang pemerintahan rezim Soeharto ini nyaris hampir setiap tahun ada saja kerusuhan-kerusuhan anti-Cina, yang berupa penjarahan, perusakan
dan pembakaran properti-properti milik etnis Tionghoa. Dengan
terciptanya fenomena demikian, maka rezim Soeharto menciptakan juga
suatu persepsi bahwa kehadiran militer di masyarakat sipil terus
diperlukan, dan sebagai

No comments:

Post a Comment