Tuesday, March 9, 2010

MANUSIA DAN PROSES PENYEMPURNAAN DIRI








From: Gusdur




  > Ass.Wr.Wb. > > Para sahabat ....!! ada tulisan bagus dari milis tetangga yang kutulis > ulang, semoga ada manfaatnya, dan bagi yang kurang dengan tulisan ini, > he..he..he... sebaiknya langsung didelete saja. > > Salam..... > Gusdur > > ============================================================= > > MANUSIA DAN PROSES PENYEMPURNAAN DIRI > oleh Komaruddin Hidayat > > Secara tegas Allah menyatakan bahwa manusia  merupakan  puncak ciptaan-Nya > dengan tingkat kesempurnaan dan keunikan-Nya yang prima dibanding makhluk > lainnya (QS. 95:4). Namun begitu Allah juga memperingatkan bahwa kualitas > kemanusiaannya, masih belum selesai atau setengah  jadi,  sehingga  masih > harus  berjuang untuk menyempurnakan    dirinya   (QS.   91:7-10). > > Proses penyempurnaan  ini  amat  dimungkinkan  karena  pada  naturnya > manusia  itu  fithri,hanif dan berakal. Lebih dari itu bagi seorang mukmin > petunjuk primordial ini masih ditambah lagi dengan  datangnya  Rasul Tuhan > pembawa  kitab  suci  sebagai petunjuk hidupnya (QS. 4:174). > > Di dalam tradisi kaum sufi terdapat  postulat  yang  berbunyi: Man 'arafa > nafsahu faqad 'arafa rabbabu --Siapa yang telah mengenal dirinya maka ia > (akan mudah) mengenal Tuhannya. Jadi,pengenalan  diri  adalah  tangga yang > harus dilewati seseorang untuk mendaki  ke  jenjang  yang  lebih  tinggi > dalam  rangka mengenal Tuhan. > > Persoalan  serius  yang  menghadang adalah, sebagaimana diakui kalangan > psikolog, filsuf, dan ahli pikir pada  umumnya,  kini manusia  semakin > mendapatkan  kesulitan  untuk mengenali jati diri dan hakikat kemanusiaannya > > Dengan majunya spesialisasi dalam dunia ilmu  pengetahuan  dan berkembangnya > differensiasi  dalam  profesi  kehidupan  maka protret atau konsep tentang > realitas manusia semakin  terpecah meniadi   kepingan-kepingan   kecil > sehingga  keutuhan  sosok manusia semakin sulit dihadirkan secara utuh. > Sederet disiplin ilmu   seperti   psikologi,  sosiologi,  biologi, > kedokteran, politik, ekonomi, antropologi, teologi  dan  lainnya  semuanya > menjadikan  manusia  sebagai  obyek kajian materialnya, tetapi masing-masing > memiliki  metode  dan  tujuan   yang   berbeda. > Differensiasi   metodologis   setiap   ilmu,   meskipun  obyek materialnya > sama-sama manusia, akan melahirkan kesimpulan yang berbeda pula mengenai > siapa dan  apa  hakikat manusia itu. > Demikianlah manusia senantiasa mengandung sebuah misteri  yang melekat pada > dirinya dan misteri ini telah mengandung sebuah misteri yang  melekat pada > dirinya dan misteri ini telah mengundang  kegelisahan  intelektual  pare > ahli  pikir untuk mencoba  berlomba  menjawabnya. Semakin seorang ahli piker > mendalami satu sudut kajian tentang manusia, semakin jauh pula ia terkurung > dalam bilik lorong yang ia masuki,  yang  berarti semakin  terputus dari > pemahaman komprehensif tentang manusia. > Krisis pengenalan  jati  diri  manusia  ini  secara  eksplisit dikemukakan, > misalnya, oleh Ernst Cassirer, katanya: > > Nietzsche  proclaims  the  will to power, Freud signalizes the sexual > instinct, Marx enthrones the  economic  instinct.  Each theory  becomes a > Procrustean bed in which the empirical facts are stretched to fit a > preconceived  pattern.  Owing to this development our modern theory of man > lost its intellectual center. We acquired instead a  complete  anarchy  of > thought. > (Ernst Cassier, 1978, p.21) > > Krisis  pengenalan  diri  sesungguhnya  tidak  hanya dirasakan kalangan ahli > pikir Barat modern, melainkan juga  di  kalangan Islam. > Terjadinya  ideologisasi  terhadap  ilmu-ilmu  agama, secara sadar atau > tidak,  telah  menghantarkan  pada  persepsi yang  terpecah  dalam melihat > manusia dan hubungannya dengan Tuhan. Dalam tradisi ilmu fiqih misalnya, > secara tak langsung > ilmu  ini cenderung menghadirkan wajah Tuhan sebagai Yang Maha Hakim, > sementara manusia adalah subyek-subyek  yang  cenderung membangkang dan > harus siap menerima vonis-vonis dari kemurkaan Tuhan Sang Maha Hakim atau, > sebaliknya, manusia pada  akhirnya akan  menuntut  imbalan  pahala  atas > ketaatannya melaksanakan dekrit-Nya. > > Demikianlah,  bila  ilmu  fiqih  cenderung  mengenalkan  Tuhan sebagai Maha > Hakim,  maka  ilmu  kalam lebih menggarisbawahi gambaran Tuhan  sebagai > Maha  Akal,  sementara  ilmu  tasawuf memproyeksikan Tuhan sebagai Sang > Kekasih. > > Perbedaan-perbedaan ini muncul dalam benak manusia karena pada dasarnya yang > bertuhan adalah manusia,  di  mana  manusia  itu lahir,  tumbuh  dan > berkembang  dibentuk dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dijumpai > dalam realitas sejarah hidupnya. Jadi,   bila  langkah  pertama  untuk > mengenal  Tuhan  adalah > mengenal diri  sendiri  terlebih  dahulu  secara  benar,  maka langkah > pertama  yang  harus  kita  tempuh  ialah  bagaimana mengenal diri kita > secara benar. > > Meskipun Cassirer secara gamblang menunjukkan krisis pengenalan diri, > secara  sederhana  kita bisa membedakan dua paradigma pemahaman terhadap > manusia, yaitu paradigma materialisme-atheistik dan spiritualisme-theistik. > > Yang pertama berkeyakinan pada teori bahwa  semua  realitas  materi > (downward causation), sebaliknya yang kedua berkeyakinan bahwa dunia > materiini  hakikatnya berasal dari realitas yang bersifat imateri (upward > causation). > > Bagi  mereka  yang  berpandangan  atau  terbiasa dengan metode berpikir > empirisme-materialistik akan sulit diajak untuk menghayati  makna > penyempurnaan  kualitas  insani sebagaimana yang lazim diyakini di kalangan > pare sufi. Kritik  terhadap aliran  materialisme akhir-akhir ini semakin > gencar, dan akan mudah dijumpai pada berbagai bidang studi keilmuan Barat > kontemporer  dengan  dalih,  antara  lain,  faham  ini  telah mereduksi > keagungan  manusia  yang  dinyatakan  Tuhan  sebagai moral and religious > being. > > Ralph  Ross,  misalnya,  memberikan contoh yang amat sederhana tetapi > gamblang betapa miskinnya penganut  materialisme  dalam memahami kehidupan > yang penuh nuansa ini. > > Progressive  reductionism  works  as follows. An art object is only mass and > light waves; an act of love only  chemiphysical,only  electrical  charges; > therefore, the art object or act of love is only a flow of electricity. > (Ralph  ross,1962, hal.8). > > Pandangan  yang  begitu  dangkal  tentang manusia secara tegas dikritik oleh > al-Qur'an. Menurut  doktrin  al-Qur'an,  manusia adalah   wakil   Tuhan di > muka   bumi  untuk  melaksanakan 'blueprint'-Nya membangun bayang-bayang > surga di bumi ini (QS.2:3).  Lebih  dari  itu  dalam tradisi sufi terdapat > keyakinan yang begitu populer bahwa  manusia  sengaja  diciptakan  Tuhan > karena   dengan   penciptaan   itu   Tuhan  akan  melihat  dan menampakkan > kebesaran diri-Nya. > > Kuntu kanzan makhfiyyan  fa  ahbabtu  an  u'rafa  fa  khalaqtu al-khalqa > fabi 'arafu-ni --Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian > Aku ingin dikenal, Kuciptakanlah makhluk maka melalui Aku mereka kenal Aku. > > Terlepas apakah riwayatnya sahih ataukah lemah, pada umumnya orang sufi > menerima hadits tersebut, namun dengan beberapa penafsiran yang berbeda. > Meski  demikian,  mereka cenderung sepakat  bahwa  manusia  adalah > microcosmos   yang memiliki sifat-sifat yang  menyerupai Tuhan dan paling > potensial mendekati Tuhan (Bandingkan  QS.41:53). > Dalam QS.15:29, misalnya,  Allah  menyatakan  bahwa  dalam diri manusia > memang terdapat unsur Ilahi  yang  dalam  al-Qur'an  beristilah  "min ruhi." > Pendek kata, realitas manusia memiliki jenjang-jenjang dan mata rantai > eksistensi. Bila diurut dari bawah unsurnya ialah minerality, vegetality, > animality, dan humanity. > > Dari jenjang pertama sampai ke tiga aktivitas dan daya jangkau manusia masih > berada dalam  lingkup  dunia  materi  dan  dunia materi  selalu > menghadirkan  polaritas  atau fragmentasi yang saling berlawanan (the > primordial pair). > Dalam konteks  inilah yang  dimaksud  bahwa realitas yang kita tangkap > tentang dunia materi adalah realitas yang terpecah  berkeping-keping. Makin > berkembang ilmu pengetahuan, makin bertambah kepingan gambaran realitas > dunia,  dan  makin  jauh  pula  manusia  untuk  mampu mengenal dirinya > secara utuh. Seperti dikemukakan Carel Alexis bahwa man has gained the > mistery of the material world  before knowing himself. > > Dalam kaitan definisi,tradisi tasawuf belum mempunyai definisi tunggal, > namun para sarjana muslim sepakat bahwa inti tasawuf  adalah ajaran yang > menyatakan bahwa hakekat keluhuran nilai seseorang bukanlah terletak pada > wujud fisiknya melainkan  pada  kesucian  dan  kemuliaan hatinya, sehingga > ia bisa sedekat mungkin  dengan  Tuhan  yang  Maha  Suci.  Ajaran > spiritualitas  seperti  ini  tidak  hanya  terdapat pada Islam melainkan > pada agama  lain,  bahkan  dalam  tradisi  pemikiran filsafat  akan  mudah > pula  dijumpai. Dari kenyataan ini maka tidak  terlalu  salah  bila   ada > yang   berpendapat   bahwa sesungguhnya potensi dan kecenderungan kehidupan > batin manusia ke arah  kehidupan  mistik  bersifat  natural  dan universal. > Pendeknya, pada nurani manusia yang terdapat dalam cahaya suci yang > senantiasa ingin menatap Yang Maha Cahaya (Tuhan)  karena dalam  kontak dan > kedekatan  antara  nurani dan Tuhan itulah muncul kedamaian dan kebahagiaan > yang paling  prima. > Kalangan sufi  yakin, dahaga dan kerinduan mendekati Tuhan ini bukanlah > hasil rekayasa pendidikan (kultur) melainkan merupakan nature manusia yang > paling   dalam,  yang  pertumbuhannya  sering terhalangi oleh pertumbuhan > dan naluri jiwa nabati dan  hewani yang  melekat pada manusia. Dengan kiasan > lain, roh Ilahi yang bersifat imateri dan berperan sebagai "sopir"  bagi > kendaraan "jasad"  kita  ini seringkali lupa diri sehingga ia kehilangan > otonominya  sebagai  master.  Bila  hal   ini   terjadi   maka terjadilah > kerancuan standar nilai. "Keakuan" orang bukan lagi difokuskan pada kesucian > jiwa tetapi pada  prestasi  akumulasi dan  konsumsi  materi.  Artinya, jiwa > yang tadinya duduk dan memerintah   dari    atas    singgasana "imateri" > dengan sifat-sifatnya  yang  mulia seperti: cinta kasih, penuh damai, senang > kesucian, selalu ingin dekat kepada Yang Maha Suci  dan Abstrak,  lalu > turunlah  tahtanya ke level yang lebih rendah, yaitu dataran: minerality, > vegetality, dan animality. > > Jadi, tujuan utama ajaran tasawuf  adalah  membantu  seseorang bagaimana > caranya  seseorang bisa memelihara dan meningkatkan kesucian jiwanya > sehingga dengan begitu ia  merasa  damai  dan juga  kembali  ke tempat asal > muasalnya dengan damai pula (QS.89:27). > > Secara garis besar tahapan seorang mukmin  untuk  meningkatkan kualitas > jiwanya terdiri dari tiga maqam. Pertama, dzikir atau ta'alluq pada Tuhan. > Yaitu, berusaha mengingat dan mengikatkan kesadaran  hati  dan  pikiran > kita  kepada  Allah. Di manapun seorang mukmin berada, dia tidak boleh lepas > dari berfikir dan > berdzikir   untuk   Tuhannya  (QS.3:191). Dari dzikir ini meningkat sampai > maqam kedua -takhalluq. Yaitu, secara  sadar meniru  sifat-sifat  Tuhan > sehingga  seorang  mukmin memiliki sifat-sifat mulia sebagaimana sifat-Nya. > Proses ini bisa  juga disebut sebagai proses internalisasi sifat Tuhan ke > dalam diri manusia. Dalam konteks ini kalangan sufi biasanya menyandarkan > Hadits Nabi yang berbunyi, "Takhallaqu bi akhlaq-i Allah." > > Maqam   ketiga   tahaqquq. Yaitu, suatu kemampuan untuk mengaktualisasikan > kesadaran dan  kapasitas  dirinya  sebagai seorang  mukmin  yang  dirinya > sudah "didominasi" sifat-sifat Tuhan sehingga tercermin dalam perilakunya > yang serba suci dan mulia.  Maqam tahaqquq  ini sejalan dengan Hadits Qudsi > yang digemari kalangan sufi  yang  menyatakan  bahwa  bagi  seorang mukmin > yang telah mencapai martabat yang sedemikian dekat dan intimnya  dengan > Tuhan  maka  Tuhan  akan  melihat  kedekatan hamba-Nya. > > Dalam  tradisi  tasawuf yang menjadi fokus kajiannya ialah apa yang disebut > gaib  atau  hati dalam pengertiannya   yang metafisis. Beberapa ayat > al-Qur'an dan Hadits menegaskan bahwa hati seseorang bagaikan raja, > sementara badan dan  anggotanya bagai  istana  dan para abdi dalem-nya. > Kebaikan dan kejahatan kerajaan itu akan tergantung bagaimana perilaku sang > raja. > > Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan bahwa meskipun secara fisik  hati itu > kecil dan mengambil tempat pada jasad manusia, namun luasnya hati Insan > Kamil (qalb  al-'arif) melebihi luasnya langit dan bumi karena ia sanggup > menerima 'arsy Tuhan, sementara  bumi  langit  tidak  sanggup. > Menurut  Ibn 'Arabi,  kata qalb senantiasa berasosiasi dengan kata taqallub > yang bergerak atau berubah secara konstan.  Taqallub-nya  hati sang  sufi, > kata  'Arabi,  adalah  seiring dengan tajalli-nya Tuhan. > > Tajalli  berarti  penampakan  diri  Tuhan   ke   dalam makhluk-Nya   dalam > pengertian  metafisik.  Dan  dari  sekian makhluk Tuhan, hanya hati seorang > Insan Kamil-lah yang  paling mampu  menangkap  lalu  memancarkan tajalli-Nya > dalam perilaku kemanusiaan (Fushushul Hikam, XII; Hossein Nasr, 1977, > p.138). > > Dalam konteks inilah, menurut Ibn 'Arabi, yang dimaksudkan dengan ungkapan > siapa  yang  mengetahui jiwanya, ia akan mengetahui  Tuhannya  karena > manusia adalah "microcosmos" atau jagad cilik dimana 'arsy Tuhan berada di > situ,  tetapi  Tuhan bukan  pengertian  huwiyah-Nya  atau  "ke-Dia-annya" > yang Maha Absolut dan Maha Esa, melainkan  Tuhan  dalam  sifat-Nya  yang > Dhahir, bukannya Yang Bathin. > > KHALIFAH ALLAH: MANUSIA SUCI NAN PERKASA > > Bila  upaya  penyucian  jiwa  merupakan  inti tasawuf, dan itu dilakukan > dalam upaya mendekati  dan  menggapai  kasih  Tuhan, maka  tasawuf  bisa > dikatakan  sebagai  inti  keberagaman dan karenanya setiap  muslim > semestinya  berusaha  untuk  menjadi sufi. > > Pandangan  semacam  itu  tentu  saja  kurang populer dan sulit diterima oleh > kalangan terdekat. Namun begitu, bukankah  cukup tegas  isyarat  al-Qur'an > maupun Hadits yang menyatakan bahwa kewajiban setiap muslim  adalah > mensucikan  jiwanya  sehingga kesuciannya termanifestasikan dalam perilaku > insaniyahnya? > > Melalui   tahapan  ta'alluq,  takhalluq,  dan  tahaqquq,  maka seorang > mukmin akan mencapai  derajat  khalifah  Allah  dengan kapasitasnya  yang > perkasa  tetapi  sekaligus penuh kasih dan damai. Seorang 'abd-u 'l-Lah > (budak Allah) yang  saleh  adalah sekaligus  juga  wakil-Nya untuk membangun > bayang-bayang surga di muka bumi ini. Bukankah Allah punya blue-print  dan > proyek untuk  memakmurkan  bumi,  dan  bukankah  hamba-hamba-Nya yang saleh > telah dinyatakan sebagai  mandataris-Nya?  Jadi, secara karikatural, seorang > sufi kontemporer adalah mereka yang tidak asing berdzikir dan berfikir > tentang Tuhan sekalipun dihotel mewah dan datang dengan kendaraan yang mewah > pula. > > DAFTAR KEPUSTAKAAN > > Arabi, Ibn, Fushush al-Hikam (The Bezels of Wisdom), New York,1980. > > Afifi, AE. The Mystical Philosophy of Muhyi al-Din Ibnul 'Arabi, Lahore, > 1938 > > Cassirer, Ernst., An Essay on Man, London, 1978. > > Izutsu, Toshihiko, The Concept of Perpetual Creation in > Islamic Mysticism and Zen Buddhism, Teheran, 1977. > > Massiggnon, Louis., The Passion of al-Hallaj, Jilid II dan III, Princeton, > 1982. > > Nasution, Prof. Dr. Harun, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, 1973 > > Ross, Raiph., Symbols and Civilization, New York, 1962. > > Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik Dalam Islam, Jakarta,1976. > > Valiuddin, Dr. Mir., The Qur'anic Sufism, Lahore, 1978. > >    

No comments:

Post a Comment