> Ass.Wr.Wb. > > Para sahabat ....!! ada tulisan bagus dari milis tetangga yang kutulis > ulang, semoga ada manfaatnya, dan bagi yang kurang dengan tulisan ini, > he..he..he... sebaiknya langsung didelete saja. > > Salam..... > Gusdur > > ============================================================= > > MANUSIA DAN PROSES PENYEMPURNAAN DIRI > oleh Komaruddin Hidayat > > Secara tegas Allah menyatakan bahwa manusia merupakan puncak ciptaan-Nya > dengan tingkat kesempurnaan dan keunikan-Nya yang prima dibanding makhluk > lainnya (QS. 95:4). Namun begitu Allah juga memperingatkan bahwa kualitas > kemanusiaannya, masih belum selesai atau setengah jadi, sehingga masih > harus berjuang untuk menyempurnakan dirinya (QS. 91:7-10). > > Proses penyempurnaan ini amat dimungkinkan karena pada naturnya > manusia itu fithri,hanif dan berakal. Lebih dari itu bagi seorang mukmin > petunjuk primordial ini masih ditambah lagi dengan datangnya Rasul Tuhan > pembawa kitab suci sebagai petunjuk hidupnya (QS. 4:174). > > Di dalam tradisi kaum sufi terdapat postulat yang berbunyi: Man 'arafa > nafsahu faqad 'arafa rabbabu --Siapa yang telah mengenal dirinya maka ia > (akan mudah) mengenal Tuhannya. Jadi,pengenalan diri adalah tangga yang > harus dilewati seseorang untuk mendaki ke jenjang yang lebih tinggi > dalam rangka mengenal Tuhan. > > Persoalan serius yang menghadang adalah, sebagaimana diakui kalangan > psikolog, filsuf, dan ahli pikir pada umumnya, kini manusia semakin > mendapatkan kesulitan untuk mengenali jati diri dan hakikat kemanusiaannya > > Dengan majunya spesialisasi dalam dunia ilmu pengetahuan dan berkembangnya > differensiasi dalam profesi kehidupan maka protret atau konsep tentang > realitas manusia semakin terpecah meniadi kepingan-kepingan kecil > sehingga keutuhan sosok manusia semakin sulit dihadirkan secara utuh. > Sederet disiplin ilmu seperti psikologi, sosiologi, biologi, > kedokteran, politik, ekonomi, antropologi, teologi dan lainnya semuanya > menjadikan manusia sebagai obyek kajian materialnya, tetapi masing-masing > memiliki metode dan tujuan yang berbeda. > Differensiasi metodologis setiap ilmu, meskipun obyek materialnya > sama-sama manusia, akan melahirkan kesimpulan yang berbeda pula mengenai > siapa dan apa hakikat manusia itu. > Demikianlah manusia senantiasa mengandung sebuah misteri yang melekat pada > dirinya dan misteri ini telah mengandung sebuah misteri yang melekat pada > dirinya dan misteri ini telah mengundang kegelisahan intelektual pare > ahli pikir untuk mencoba berlomba menjawabnya. Semakin seorang ahli piker > mendalami satu sudut kajian tentang manusia, semakin jauh pula ia terkurung > dalam bilik lorong yang ia masuki, yang berarti semakin terputus dari > pemahaman komprehensif tentang manusia. > Krisis pengenalan jati diri manusia ini secara eksplisit dikemukakan, > misalnya, oleh Ernst Cassirer, katanya: > > Nietzsche proclaims the will to power, Freud signalizes the sexual > instinct, Marx enthrones the economic instinct. Each theory becomes a > Procrustean bed in which the empirical facts are stretched to fit a > preconceived pattern. Owing to this development our modern theory of man > lost its intellectual center. We acquired instead a complete anarchy of > thought. > (Ernst Cassier, 1978, p.21) > > Krisis pengenalan diri sesungguhnya tidak hanya dirasakan kalangan ahli > pikir Barat modern, melainkan juga di kalangan Islam. > Terjadinya ideologisasi terhadap ilmu-ilmu agama, secara sadar atau > tidak, telah menghantarkan pada persepsi yang terpecah dalam melihat > manusia dan hubungannya dengan Tuhan. Dalam tradisi ilmu fiqih misalnya, > secara tak langsung > ilmu ini cenderung menghadirkan wajah Tuhan sebagai Yang Maha Hakim, > sementara manusia adalah subyek-subyek yang cenderung membangkang dan > harus siap menerima vonis-vonis dari kemurkaan Tuhan Sang Maha Hakim atau, > sebaliknya, manusia pada akhirnya akan menuntut imbalan pahala atas > ketaatannya melaksanakan dekrit-Nya. > > Demikianlah, bila ilmu fiqih cenderung mengenalkan Tuhan sebagai Maha > Hakim, maka ilmu kalam lebih menggarisbawahi gambaran Tuhan sebagai > Maha Akal, sementara ilmu tasawuf memproyeksikan Tuhan sebagai Sang > Kekasih. > > Perbedaan-perbedaan ini muncul dalam benak manusia karena pada dasarnya yang > bertuhan adalah manusia, di mana manusia itu lahir, tumbuh dan > berkembang dibentuk dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dijumpai > dalam realitas sejarah hidupnya. Jadi, bila langkah pertama untuk > mengenal Tuhan adalah > mengenal diri sendiri terlebih dahulu secara benar, maka langkah > pertama yang harus kita tempuh ialah bagaimana mengenal diri kita > secara benar. > > Meskipun Cassirer secara gamblang menunjukkan krisis pengenalan diri, > secara sederhana kita bisa membedakan dua paradigma pemahaman terhadap > manusia, yaitu paradigma materialisme-atheistik dan spiritualisme-theistik. > > Yang pertama berkeyakinan pada teori bahwa semua realitas materi > (downward causation), sebaliknya yang kedua berkeyakinan bahwa dunia > materiini hakikatnya berasal dari realitas yang bersifat imateri (upward > causation). > > Bagi mereka yang berpandangan atau terbiasa dengan metode berpikir > empirisme-materialistik akan sulit diajak untuk menghayati makna > penyempurnaan kualitas insani sebagaimana yang lazim diyakini di kalangan > pare sufi. Kritik terhadap aliran materialisme akhir-akhir ini semakin > gencar, dan akan mudah dijumpai pada berbagai bidang studi keilmuan Barat > kontemporer dengan dalih, antara lain, faham ini telah mereduksi > keagungan manusia yang dinyatakan Tuhan sebagai moral and religious > being. > > Ralph Ross, misalnya, memberikan contoh yang amat sederhana tetapi > gamblang betapa miskinnya penganut materialisme dalam memahami kehidupan > yang penuh nuansa ini. > > Progressive reductionism works as follows. An art object is only mass and > light waves; an act of love only chemiphysical,only electrical charges; > therefore, the art object or act of love is only a flow of electricity. > (Ralph ross,1962, hal.8). > > Pandangan yang begitu dangkal tentang manusia secara tegas dikritik oleh > al-Qur'an. Menurut doktrin al-Qur'an, manusia adalah wakil Tuhan di > muka bumi untuk melaksanakan 'blueprint'-Nya membangun bayang-bayang > surga di bumi ini (QS.2:3). Lebih dari itu dalam tradisi sufi terdapat > keyakinan yang begitu populer bahwa manusia sengaja diciptakan Tuhan > karena dengan penciptaan itu Tuhan akan melihat dan menampakkan > kebesaran diri-Nya. > > Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u'rafa fa khalaqtu al-khalqa > fabi 'arafu-ni --Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian > Aku ingin dikenal, Kuciptakanlah makhluk maka melalui Aku mereka kenal Aku. > > Terlepas apakah riwayatnya sahih ataukah lemah, pada umumnya orang sufi > menerima hadits tersebut, namun dengan beberapa penafsiran yang berbeda. > Meski demikian, mereka cenderung sepakat bahwa manusia adalah > microcosmos yang memiliki sifat-sifat yang menyerupai Tuhan dan paling > potensial mendekati Tuhan (Bandingkan QS.41:53). > Dalam QS.15:29, misalnya, Allah menyatakan bahwa dalam diri manusia > memang terdapat unsur Ilahi yang dalam al-Qur'an beristilah "min ruhi." > Pendek kata, realitas manusia memiliki jenjang-jenjang dan mata rantai > eksistensi. Bila diurut dari bawah unsurnya ialah minerality, vegetality, > animality, dan humanity. > > Dari jenjang pertama sampai ke tiga aktivitas dan daya jangkau manusia masih > berada dalam lingkup dunia materi dan dunia materi selalu > menghadirkan polaritas atau fragmentasi yang saling berlawanan (the > primordial pair). > Dalam konteks inilah yang dimaksud bahwa realitas yang kita tangkap > tentang dunia materi adalah realitas yang terpecah berkeping-keping. Makin > berkembang ilmu pengetahuan, makin bertambah kepingan gambaran realitas > dunia, dan makin jauh pula manusia untuk mampu mengenal dirinya > secara utuh. Seperti dikemukakan Carel Alexis bahwa man has gained the > mistery of the material world before knowing himself. > > Dalam kaitan definisi,tradisi tasawuf belum mempunyai definisi tunggal, > namun para sarjana muslim sepakat bahwa inti tasawuf adalah ajaran yang > menyatakan bahwa hakekat keluhuran nilai seseorang bukanlah terletak pada > wujud fisiknya melainkan pada kesucian dan kemuliaan hatinya, sehingga > ia bisa sedekat mungkin dengan Tuhan yang Maha Suci. Ajaran > spiritualitas seperti ini tidak hanya terdapat pada Islam melainkan > pada agama lain, bahkan dalam tradisi pemikiran filsafat akan mudah > pula dijumpai. Dari kenyataan ini maka tidak terlalu salah bila ada > yang berpendapat bahwa sesungguhnya potensi dan kecenderungan kehidupan > batin manusia ke arah kehidupan mistik bersifat natural dan universal. > Pendeknya, pada nurani manusia yang terdapat dalam cahaya suci yang > senantiasa ingin menatap Yang Maha Cahaya (Tuhan) karena dalam kontak dan > kedekatan antara nurani dan Tuhan itulah muncul kedamaian dan kebahagiaan > yang paling prima. > Kalangan sufi yakin, dahaga dan kerinduan mendekati Tuhan ini bukanlah > hasil rekayasa pendidikan (kultur) melainkan merupakan nature manusia yang > paling dalam, yang pertumbuhannya sering terhalangi oleh pertumbuhan > dan naluri jiwa nabati dan hewani yang melekat pada manusia. Dengan kiasan > lain, roh Ilahi yang bersifat imateri dan berperan sebagai "sopir" bagi > kendaraan "jasad" kita ini seringkali lupa diri sehingga ia kehilangan > otonominya sebagai master. Bila hal ini terjadi maka terjadilah > kerancuan standar nilai. "Keakuan" orang bukan lagi difokuskan pada kesucian > jiwa tetapi pada prestasi akumulasi dan konsumsi materi. Artinya, jiwa > yang tadinya duduk dan memerintah dari atas singgasana "imateri" > dengan sifat-sifatnya yang mulia seperti: cinta kasih, penuh damai, senang > kesucian, selalu ingin dekat kepada Yang Maha Suci dan Abstrak, lalu > turunlah tahtanya ke level yang lebih rendah, yaitu dataran: minerality, > vegetality, dan animality. > > Jadi, tujuan utama ajaran tasawuf adalah membantu seseorang bagaimana > caranya seseorang bisa memelihara dan meningkatkan kesucian jiwanya > sehingga dengan begitu ia merasa damai dan juga kembali ke tempat asal > muasalnya dengan damai pula (QS.89:27). > > Secara garis besar tahapan seorang mukmin untuk meningkatkan kualitas > jiwanya terdiri dari tiga maqam. Pertama, dzikir atau ta'alluq pada Tuhan. > Yaitu, berusaha mengingat dan mengikatkan kesadaran hati dan pikiran > kita kepada Allah. Di manapun seorang mukmin berada, dia tidak boleh lepas > dari berfikir dan > berdzikir untuk Tuhannya (QS.3:191). Dari dzikir ini meningkat sampai > maqam kedua -takhalluq. Yaitu, secara sadar meniru sifat-sifat Tuhan > sehingga seorang mukmin memiliki sifat-sifat mulia sebagaimana sifat-Nya. > Proses ini bisa juga disebut sebagai proses internalisasi sifat Tuhan ke > dalam diri manusia. Dalam konteks ini kalangan sufi biasanya menyandarkan > Hadits Nabi yang berbunyi, "Takhallaqu bi akhlaq-i Allah." > > Maqam ketiga tahaqquq. Yaitu, suatu kemampuan untuk mengaktualisasikan > kesadaran dan kapasitas dirinya sebagai seorang mukmin yang dirinya > sudah "didominasi" sifat-sifat Tuhan sehingga tercermin dalam perilakunya > yang serba suci dan mulia. Maqam tahaqquq ini sejalan dengan Hadits Qudsi > yang digemari kalangan sufi yang menyatakan bahwa bagi seorang mukmin > yang telah mencapai martabat yang sedemikian dekat dan intimnya dengan > Tuhan maka Tuhan akan melihat kedekatan hamba-Nya. > > Dalam tradisi tasawuf yang menjadi fokus kajiannya ialah apa yang disebut > gaib atau hati dalam pengertiannya yang metafisis. Beberapa ayat > al-Qur'an dan Hadits menegaskan bahwa hati seseorang bagaikan raja, > sementara badan dan anggotanya bagai istana dan para abdi dalem-nya. > Kebaikan dan kejahatan kerajaan itu akan tergantung bagaimana perilaku sang > raja. > > Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan bahwa meskipun secara fisik hati itu > kecil dan mengambil tempat pada jasad manusia, namun luasnya hati Insan > Kamil (qalb al-'arif) melebihi luasnya langit dan bumi karena ia sanggup > menerima 'arsy Tuhan, sementara bumi langit tidak sanggup. > Menurut Ibn 'Arabi, kata qalb senantiasa berasosiasi dengan kata taqallub > yang bergerak atau berubah secara konstan. Taqallub-nya hati sang sufi, > kata 'Arabi, adalah seiring dengan tajalli-nya Tuhan. > > Tajalli berarti penampakan diri Tuhan ke dalam makhluk-Nya dalam > pengertian metafisik. Dan dari sekian makhluk Tuhan, hanya hati seorang > Insan Kamil-lah yang paling mampu menangkap lalu memancarkan tajalli-Nya > dalam perilaku kemanusiaan (Fushushul Hikam, XII; Hossein Nasr, 1977, > p.138). > > Dalam konteks inilah, menurut Ibn 'Arabi, yang dimaksudkan dengan ungkapan > siapa yang mengetahui jiwanya, ia akan mengetahui Tuhannya karena > manusia adalah "microcosmos" atau jagad cilik dimana 'arsy Tuhan berada di > situ, tetapi Tuhan bukan pengertian huwiyah-Nya atau "ke-Dia-annya" > yang Maha Absolut dan Maha Esa, melainkan Tuhan dalam sifat-Nya yang > Dhahir, bukannya Yang Bathin. > > KHALIFAH ALLAH: MANUSIA SUCI NAN PERKASA > > Bila upaya penyucian jiwa merupakan inti tasawuf, dan itu dilakukan > dalam upaya mendekati dan menggapai kasih Tuhan, maka tasawuf bisa > dikatakan sebagai inti keberagaman dan karenanya setiap muslim > semestinya berusaha untuk menjadi sufi. > > Pandangan semacam itu tentu saja kurang populer dan sulit diterima oleh > kalangan terdekat. Namun begitu, bukankah cukup tegas isyarat al-Qur'an > maupun Hadits yang menyatakan bahwa kewajiban setiap muslim adalah > mensucikan jiwanya sehingga kesuciannya termanifestasikan dalam perilaku > insaniyahnya? > > Melalui tahapan ta'alluq, takhalluq, dan tahaqquq, maka seorang > mukmin akan mencapai derajat khalifah Allah dengan kapasitasnya yang > perkasa tetapi sekaligus penuh kasih dan damai. Seorang 'abd-u 'l-Lah > (budak Allah) yang saleh adalah sekaligus juga wakil-Nya untuk membangun > bayang-bayang surga di muka bumi ini. Bukankah Allah punya blue-print dan > proyek untuk memakmurkan bumi, dan bukankah hamba-hamba-Nya yang saleh > telah dinyatakan sebagai mandataris-Nya? Jadi, secara karikatural, seorang > sufi kontemporer adalah mereka yang tidak asing berdzikir dan berfikir > tentang Tuhan sekalipun dihotel mewah dan datang dengan kendaraan yang mewah > pula. > > DAFTAR KEPUSTAKAAN > > Arabi, Ibn, Fushush al-Hikam (The Bezels of Wisdom), New York,1980. > > Afifi, AE. The Mystical Philosophy of Muhyi al-Din Ibnul 'Arabi, Lahore, > 1938 > > Cassirer, Ernst., An Essay on Man, London, 1978. > > Izutsu, Toshihiko, The Concept of Perpetual Creation in > Islamic Mysticism and Zen Buddhism, Teheran, 1977. > > Massiggnon, Louis., The Passion of al-Hallaj, Jilid II dan III, Princeton, > 1982. > > Nasution, Prof. Dr. Harun, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, 1973 > > Ross, Raiph., Symbols and Civilization, New York, 1962. > > Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik Dalam Islam, Jakarta,1976. > > Valiuddin, Dr. Mir., The Qur'anic Sufism, Lahore, 1978. > >
No comments:
Post a Comment