Sunday, April 8, 2012

Bermain Mata Dengan Bencana



From: Haryono

Bermain Mata Dengan Bencana
Oleh: Rhenald Kasali *

FLIRTING, menggoda atau bermain mata, dengan bencana tampaknya menjadi masalah serius bangsa ini.
Bencana sama seperti lalu lintas di perkotaan, tak pernah tuntas terselesaikan.
Ia hanya baru bisa ditangani dengan baik bila manajemen, termasuk manajemen bencana, berada di tangan bangsa ini. Tanpa manajemen bencana, anda hanya akan menyaksikan hal yang sama datang berulang-ulang.
Bencana seakan-akan selalu datang tiba-tiba dengan korban ratusan tewas tak dapat diselamatkan.
Early warning system tidak bekerja dengan baik dan kalaupun ada selalu diabaikan.
Seperti apakah manajemen bencana itu?

Before–During–After
Manajemen bencana terdiri atas as tiga fase, yaitu sebelum, selama, dan setelah bencana.
Bangsa-bangsa yang produktif, maju, dan peduli terhadap keselamatan warga negaranya akan fokus pada penanganan ketiganya.
Sebaliknya, bangsa yang reaktif hanya fokus pada penanganan pasca bencana, yaitu pemberian bantuan kesehatan dan makanan, pembersihan jenazah, penguburan massal, rekonstruksi, dan rehabilitasi.
Bangsa-bangsa yang produktif bertindak proaktif dan sangat menghargai knowledge management.
Mereka mempelajari tanda-tanda alam, perubahan-perubahan karakter alam dan cara-cara pencegahan sebelum bencana itu tiba.
Berkebalikan dengan itu, bangsa-bangsa yang reaktif cenderung terlambat bergerak, saling menyalahkan; bukan mengedepankan solusi, melainkan hanya bermain dengan justifikasi.
Mereka ini hanya bermain mata dengan bencana,
sehingga bencana pun tergoda mendatangi dan mengeruk harta benda dan nyawa manusia.
Selama bangsa ini hanya fokus pasca bencana saja, hampir pasti hanya rasa frustrasi yang akan datang.
Jumlah korban akan tetap sama besarnya.
Citra sebagai bangsa yang maju sulit didapat.
Jangankan respek, bantuan pun lama-lama enggan datang.
Nilai manusia yang rendah di mata negara sendiri akan juga diberlakukan rendah di dunia kerja.
Lingkaran setan saling menyalahkan jelas harus dihapus hari ini juga.
Jumlah korban hanya bisa diatasi jika early warning system hadir dan bekerja dengan baik, konstruksi-konstruksi baru untuk penyelamatan (defence contruction), contingency planning,
dan rapid response.
Hal seperti ini bisa dengan mudah dilihat di Aceh, tak lama BRR menjalankan tugasnya.
Menara-menara penyelamatan dibangun di sejumlah titik, sehingga rakyat dengan cepat dapat dievakuasi pada radius yang dekat.
Yang belum kita lihat sampai saat ini adalah mekanisme kerja cepat penanganan bencana.
Penanganan ini harus bisa bersifat real-time.
Saat bencana terjadi, saat itu juga bantuan tiba.
Tidak boleh lagi ada alasan cuaca buruk, ombak tinggi,
awan mendung, telekomunikasi terputus, kantor pemerintah daerah ikut terseret gelombang, keluarga aparat pemda ikut tertelan bencana atau alasan-alasan klasik seperti tidak adanya alat angkut yang memadai.
Ayo, berpikirlah lebih maju.
Kita hidup di tengah-tengah peradaban modern.
Payung undang-undang penyerahan dana dan bantuan yang bersifat real-time harus segera dibuat.
Dalam keadaan darurat, dana tak boleh dijadikan alasan.
Ia bisa digeser menjadi prioritas utama.
Sekarang yang masih menjadi masalah adalah birokrasi.
Saya kira birokrasi Indonesia belum sempat bertobat.
Birokrasi jelas harus segera dirampingkan kalau kita ingin bisa segalanya serba cepat.

Persoalan Masyarakat
Manajemen bencana berhubungan erat dengan perilaku manusia.
Harap maklum, tanpa pengetahuan yang memadai, manusia lebih banyak mengandalkan intuisi.
Rakyat juga sering bermain mata dengan bencana.
Manusia punya kecenderungan mengedepankan logika-logika bencana berdasarkan the best story, bukan the best facts.
The best story bersifat emosional dan bias sehingga menyulitkan penanganan ke depan.
The best story tampak pada bagaimana media mengalungkan simbol keagungan dan leadership pada Mbah Maridjan.
Anda lihat sendiri, para pengamat politik dan scientist pun larut ke sana.
Padahal kalau anda kaji lebih rasional, anda akan menemukan sebaliknya.
Mbah Maridjan adalah simbol dari resistance to change dan kealpaan manusia membaca fakta karena latar belakang pendidikannya.
Andaikan kearifan perubahan ada pada dirinya, dia tentu akan tetap eksis karena kata kuncinya adalah adaptif, bukan stay in resistance.
Apa pun yang dilakukan manusia, bila tanpa manajemen bencana, akan selalu hadir human biases and distortion.
Manusia bias karena pengalaman masa lalunya, potensi emosi, serta kealpaannya menghubungkan antara referensi yang dimiliki dengan situasi aktual di lapangan.
Manusia cenderung berlebihan (over estimate) terhadap bencana-bencana besar yang jarang datang, tetapi mengabaikan (under estimate) insiden-insiden kecil yang datang dan mudah dilupakan.
Padahal, kejadian-kejadian kecil itu adalah sebuah "warning system" yang diberikan alam demi kelestarian manusia.
Anda mungkin masih ingat kejadian di Pantai Mai Khao,Thailand, yang dilanda bencana tsunami Desember 2004.
Di pantai itu praktis tidak ada turis yang tewas.
Padahal jumlah turis asing yang sedang berjemur di pantai sangat banyak.
Pasalnya, seorang anak kecil berusia 10 tahun berhasil menyampaikan fakta kepada petugas dan orang tuanya saat ia menyaksikan tiba-tiba air di sepanjang bibir pantai berbuih,
lalu airnya surut.
Berbeda dengan yang saya dengar di tempat lain, anak ini segera berteriak dan lari diikuti orang tuanya, petugas hotel,
dan turis-turis asing.
Seminggu sebelumnya, di kelas geografinya, Tilly Smith,
gadis berusia 10 tahun asal Inggris itu, baru saja belajar bahwa itulah pertanda tsunami.
Di Aceh, ketika air laut tiba-tiba surut dan ratusan ikan menggelepar, para pelancong justru berlarian berebut mengejar ikan.
Buat orang di Aceh dan Pukhet, tsunami tak pernah mereka lihat. Bagi mereka tsunami hanyalah mitos.
Human biases.
Dan terjadilah bencana.
Mirip dengan apa yang mungkin ada di kepala Mbah Maridjan.

Aturan Prabencana
Akhirnya, hidup di lingkaran cincin api (ring of fire), mau tidak mau setiap anak Indonesia harus tahu bagaimana menyelamatkan bangsanya dari bencana dan membaca tanda-tanda bencana. Kendati demikian ada lima aturan yang perlu segera ditanamkan. Pertama, jauhkan sikap "menggoda bencana" dengan kekuatan memahami risiko yang akan dihadapi.
Meski datangnya bencana-bencana besar di satu titik agak jarang (karena titik itu berpindah-pindah), tapi sekali bencana datang probabilitas kerusakannya adalah 100%.
Kedua, jangan biasakan menyangkal.
Kebiasaan mempertentangkan intuisi dengan ramalan-ramalan akademik harus segera dijauhkan.
Ketiga, bangun pusat-pusat penyelamatan dalam bentuk menara-menara pengungsian yang dekat dengan pengungsian, jalan-jalan tembus yang lebar serta pemantauan yang tertata.
Untuk daerah-daerah bencana, jelas akses masuk bantuan harus selalu ada dalam keadaan terawat baik.
Keempat, beri perhatian pada sinyal-sinyal yang lemah,
sekalipun jarang terjadi.
Kelima, rampingkan birokrasi penyelamatan sekarang juga. Terakhir, jangan menunda-nunda kegiatan pemberian bantuan dengan alasan atau justifikasi apa pun.
Terlepas dari itu semua, manajemen bencana bukanlah subject manajemen pencitraan.
Ia murni merupakan anak dari manajemen kemanusiaan yang harus menjadi perhatian manusia dalam peradaban modern.(*)

* Rhenald Kasali, Ketua Program MM UI

--

No comments:

Post a Comment