Saturday, April 28, 2012

Ketika Sang Ustad Gelisah



From: A.Syauqi Yahya

Ketika Sang Ustad Gelisah
OPINI | 16 February 2011 | 07:05 22 0 Nihil
________________________________

"…Al-Qur'an itu "bungkus" dari pesan ke-Ilahi-an, dimana kalau pesan itu sudah dicerap, dipahami dan diamalkan dalam keseharian kita, maka bungkusnya bisa "dibuang"……". Kalimat ini bukan kutipan dari catatan Ahmad Wahib yang sedang gelisah, tetapi merupakan "pernyataan" seorang ustad dari pesantren salaf yang sedang merindukan cara "beragama" baru, yakni cara mencintai Tuhan dengan tanpa birokrasi. Sebut saja Ustad Nakho'i yang memang sedang gelisah, ia gelisah melihat agama yang justru menjauhkan hati dan perilaku ummat dari Tuhannya. Tuhan begitu sulit 'ditemui", bahkan rasanya mustahil untuk diajak "berdialog". Namun hal ini bukan karena kehendak-Nya, tetapi karena "birokrasi" agama yang bewujud aturan-aturan yang sengaja diciptakan oleh para "penjaga" agama untuk membentengi Tuhan dari ciptaannya sendiri. Agama telah mengalienasi/mengasingkan penganut dari upaya pemahaman akan Penciptanya yang maha lembut dan penu kasih sayang.

"Birokrasi" agama yang semestinya menjadi alat, kini telah dijadikan tujuan (Tuhan) oleh sebagian besar penganut agama. Akibatnya manusia berlomba-lomba bergumul dengan simbol-simbol untuk mengejar "sorga" dan lari menghindar dari neraka. Dan Semuanya menjadi serba berwarna hitam-putih, salah-benar, murtad-beriman, serta haram-halal. Karl Marx-pun diharamkan karena dianggap tidak mempercayai agama dan Tuhan, dan tak jarang Negarapun dengan mengatasnamakan agama ikut mengatur mana yang sesat dan mana yang tidak sesat. Maka di manakah posisi agama? Benarkah ia mewakili Tuhan? Atau Jangan-jangan ia mewakili kekuasaan?

Siapa yang bisa menyangkal sejarah "bahwa diturunkannya agama oleh Tuhan adalah sebagai awal dari proses sekularisasi"? Siapa yang bisa menyangkal kehadiran Nabi dengan sunnahnya telah menjadi penerus kedua dari proses sekulrasisasi tersebut? Masihkah perlu kita memperdebatkan sekularisasi itu saat ini? Kita telah menggunakan hand phone, internet, facebook, twetters, listrik, motor, pesawat terbang dan beragam hasil teknologi canggih lainnya, yang saya yakin kita tidak pernah mempertanyakan agama yang mengkreasikan teknologi tersebut. Mengapa ummat enggan mempertanyakan hal itu?

Pada posisi inilah ummat tidak lagi berani (tidak boleh) bertanya. Sebab kata sang penjaga agama "…pertanyaan tersebut akan melahirkan pelanggaran aqidah, karena bisa meragukan keyakinan terhadap eksistensi Tuhan…" Tetapi benarkan Tuhan tak bisa diragukan? Sebab manusia bisa yakin karena ada keraguan. Tanpa keraguan tidak mungkin ada keyakinan. Bukankah Ibrahim berhasil "menemukan" Tuhan setelah berkali-kali ia meragukannya? Tuhan menciptakan akal buat manusia, agar bisa berpikir, bukan sekedar tunduk pada –penafsiran sepihak- terhadap teks-teks "suci" yang ada. Kalau ada pertanyaan siapakan mahluk ciptaan Allah yang paling sempurna, tentu semua akan menjawab manusia. Karena akal manusialah yang menjadikan sebuah kitab itu suci atau tidak, Al-Qur'an bagi ummat Islam adalah kitab suci, tetapi tidak bagi ummat Hindu, Injil adalah kitab suci bagi ummat Kristen tetapi tidak bagi ummat Budha dan seterusnya. Tuhan menganugerahi manusia dengan akal bukan untuk dijadikan alat untuk menyalahkan orang lain karena "ketidaksucian" keyakinannya. Tetapi Tuhan hanya meminta manusia untuk mendekatkan diri pada-Nya agar bisa menerjemahkan Cinta-Nya sebagai spirit kehidupan mereka. Tuhan juga tak ingin dibela dengan segala anugrah yang telah ia berikan pada manusia, Dia hanya ingin kita menjadi wakil-Nya dalam menebarkan kasih dan sayang dalam samudra kehidupan yang beragam di dunia ini.

Namun terkadang munculnya kesadaran itu sangat menyakitkan dan mengejutkan. Tetapi bukan berarti hal itu salah. Sebab kita memang sudah terbiasa dibuai dan dimanjakan oleh kemapanan. Begitu munucl kegelisahan, maka bergetarlah sendi-sendi kemapanan, muncullah kekhawatiran akan adanya perubahan. Maka jadilah teks suci sebagai benteng terakhir melawan perubahan yang sudah menjadi sunnahtullah. Tiba-tiba teks menjadi lebih suci dari hakekat maknanya. Maka muncullah kegelisahan dari seorang ustad yang ingin menemukan hakekat keber-agama-annya. Ini adalah gejala yang wajar bagi mereka yang tersadar bahwa dirinya telah jauh dari Tuhannya. Karena itulah Tuhan harus dilepaskan dari segala bentuk "penjara " protololer agama agar bisa ditemukan kembali oleh para pemuja-Nya. Diakui atau tidak perlawanan (di bawah sadar) atas setiap kemapanan itu selalu hadir dalam benak setiap manusia.

"Jangan remehkan perlawanan di bawah sadar", itulah salah satu pelajaran yang bisa dipetik dalam cerita film "American Beauty". Hidup manusia yang absurd sangat jelas keabsurdanya ketika ia mencoba menembus mindset (perspektif berpikir) yang dominan dalam masyarakatnya. Jarang memang orang  yang menilai kehidupan dengan penuh keganjilan, apalagi menyadari bahwa kehidupan itu memang benar-benar sebuah keganjilan. Karena itu pula Albert Einstein pernah mengatakan bahwa pikiran yang tidak bernuansa absurd, tidak akan punya masa depan. ( tulisan ini telah diperbaharui dari versi terdahulu yang pernah dimuat di majalah SANTRI edisi juni 2000 (sudah tidak terbit lagi sejak 2002), dengan judul ustad Nakho'i)

http://sosbud.kompasiana.com/2011/02/16/ketika-sang-ustad-gelisah/

--

No comments:

Post a Comment