Friday, February 5, 2010

N A F A S - Cerpen A.Kohar Ibrahim





NAFAS

 

 

Cerpen : A.Kohar Ibrahim

 

 

 

DUDUK terhenyak di kursi putih dalam ruang kecil berdinding putih pula, aku pejamkan mata, merasa rasanya kesesakan nafas. Nafas yang menggores dalam ingatan selama hayat dikandung badan.  Beda dengan tadi, seketika keluar pintu rumah, iya memang aku terengah-engah mengayun langkah tersergah cuaca dingin campur polusi.

 

Wah ! Aku jadi tambah gelisah. Apakah ini pun suatu indikasi menurunnya daya tahan tubuhku ? Jika diingat barusan kembali dari tanah tumpah darahku, setelah beberapa lama menikmati kehangat-segaran cuaca katulistiwa. Indonesia. Situasinya memang kontras. Beda sekali. Bayangkan saja: di sana cuaca antara 25 sampai 30 drajat, sedangkan di sini 10 sampai 15 drajat… di bawah nol !

 

Mungkin saja begitu, pikirku. Coba menenangkan diri meski teriring prihatin. Pun yakin. Terbuktikan sejak keluar pintu rumah aku terus bisa melangkah menelusuri jalanan bertrotoar bagaikan digelar permadani putih setebal mata kaki. Tebal putihnya salju. Mengayun langkah seperti tertatih lantaran jalanan dingin lagi licin, hingga ke perhentian trem terdekat dan sampai waktu yang tepat. Selamat sampai menggapai tempat tujuan janjian di Klinik Saint-Jean: Servis Skaner. Di ruang tunggu aku diberi dulu minuman berupa segelas besar cairan yang nampaknya seperti limun namun rasanya manis kemanisan obat. Selang satu jam, baru Pakar Skaner memanggil namaku yang kuturuti secara patuh seperti bocah sekolah tanpa masalah. Patuh sampai pada perintah supaya aku menanggalkan pakaian, kecuali hanya celana dalam saja. Semua aku lakukan dengan lumrah, lantaran berkali-kali sudah, selagi rawat-inap pun rawat-jalan dalam periode dua tahun belakangan ini. Dua tahun perjuangan hidup-mati di dalam jiwa-ragaku sendiri : melawan kangker. Begitulah, seperti sudah lazim, atas pertanyaan, apakah daku alergi atau tidak. Jawabku nyaris sepontan saja : « Non, Monsieur. » Tidak, Tuan.

 

Dan begitu juga kepatuhanku lumrah saja ketika tiba di depan mesin warna putih berbentuk tabung besar seperti kapsul astronout untuk perjalanan panjang ke ruang angkasa raya. Dimintanya aku membaringkan diri dengan tenang. Patuh. Tak masalah. Dibilangnya aku akan kena suntikan di tangan sebelah kanan ataukah sebelah kiri. Iya. Aku patuh. Pasrah saja. Tak masalah. Begitu jugalah aku hanya mengangguk sembari bilang : « Oui, Monsieur. » Iya. Memahami penjelasan bahwa yang disuntikkan di lengan kananku itu adalah zat obat agar supaya gambar-gambar dalam tubuhku yang direkam Skaner jelas jemelas.

 

«Nanti, kalau terasakan panas, tak usah waswas, » pesan Sang Pakar Skaner.

 

Aku mengangguk.

 

"Nanti, perhatikan – kalau disuruh tarik nafas, tariklah secara normal," pesannya lagi. "Dan kalau disuruh: tahan nafas, ya tahanlah. Sampai dibilang lagi: tarik nafas…"

 

Aku pun mengangguk lagi. Mengerti. Ah, entah sudah seberapa kali aku mengalaminya selama melakukan perawatan kesehatan di klinik besar kota Brussel ini.

 

Sekilas, ketika tubuhku masuk tabung sebagai percobaan sekalian mengepaskan letak, sempat aku senyum sembari mengingat Gargarin dan Amstrong --  para astronout kondang US dan AS. Ketika mesin Skaner itu difungsikan sepenuhnya, getarannya terasa. Juga terasa getaran di dalam tubuhku. Tetapi, seketika itu pula timbul rasa yang aneh : kepalaku terasa berat, sedang perutku mual. Dan ketika tubuhku masuk ke dalam tabung Skaner, aku merasakan rasa yang panas. Tapi sedar, rasa panas itu bukan panasnya mesin, melainkan panas dalam tubuhku. Sedar pula, ketika diminta bernafas lantas diminta untuk tahan nafas sampai bernafas lagi dengan sewajarnya. Tahap pertama itu aku lakukan tanpa masalah. Juga pada tahap yang kedua. Lancar. Meski rasanya terasa semakin panas dan mual diperut kian menjadi-jadi. Jantungku berdebar deras. Oleh karena itulah untuk tahap yang ketiga aku gagal, malah memberontak. Berontak tak bisa menahan rasa mual yang melilit perutku. Dalam mulutku mengalir zat yang rasanya manis-asam yang aneh. Aku nyaris muntah besar, tapi aku tahan sekuat bisa. Sang pakar Skaner menunda tahap yang ketiga. Dengan dibantu oleh seorang Jururawat, keduanya mendampingi aku, menyarankan supaya aku tenang : « Segera usai, segera selesai… » desis sang Pakar. Sedangkan sang Jururawat memegangi lengan kiriku seraya menyeka mulut dan leherku yang basah oleh zat yang keluar tak tertahankan.

 

Seketika aku menarik nafas panjang berupaya agar jiwaragaku tenang. Begitupun sukar untuk menghindar waswas yang datang menyerang. Semata-mata seketika itu pula datang ingatan tanpa diundang. Aku terkenang seketika, persis setahun lalu, dalam waktu rawat-inap setelah operasi besar, dalam jangka waktu 33 hari, 22 hari aku tak sadarkan diri. Dan salah satu yang paling tak terlupakan adalah justeru betapa kerasnya debaran jantung dan hatiku. Betapa berdesak-desakannya nafasku untuk keluar dari terowongan tenggorokanku. Nafasku sukar keluar atau hanya bisa bernafas pendek-pendek. Sekalipun selalu dengan bantuan oksigen lewat lubang hidungku. Sejak itu, kerap kali perasaan aneh yang mengerikan itu menyergapku. Seperti yang barusan aku rasakan.

 

 

KETIKA telingaku menangkap suara yang ringkas tegas namun ramah: "Chèr Monsieur? OK?" kontan aku mengiyakan. "Kita lanjutkan dengan Skaner terakhir, yah?"

 

OK. Beres. Tak ada masalah. Sampai aku bisa bangkit kembali dari pembaringan, dan, dengan diantar sang Jururawat aku masuk kembali ke ruang kecil. Duduk terhenyak di kursi putih karena lelah dan gelisah terasa. Perasaan yang aku tarungi dengan upaya senantiasa menyalakan asa. Setelah lengkap mengenakan busana, aku keluar kembali mengayunkan langkah. Dengan tarikan nafas lega. Insyallah. Insyallah. Insyallah. ***

 

(Januari 2010)

No comments:

Post a Comment