Sanghyang Sirah ? Ya Sanghyang Sirah, letaknya persis di ujung pulau Jawa atau kepalanyanya pulau Jawa dan posisinya termasuk dalam kawasan Taman Nasional Ujung Kulon Propinsi Banten (lebih jelasnya dapat dilihat di WIKIMAPIA. Sirah dalam bahasa Jawa/Sunda berarti kepala. Sudah sejak lama saya ingin sekali mengunjungi daerah Sanghyang Sirah ini. Beberapa kali tertunda dengan berbagai kendala. Baru tahun 2009 ini, keinginan saya tercapai. Dan ini tidak lepas dari adanya amanah karuhun (leluhur) untuk berziarah ke Sanghyang Sirah. Mungkin belum banyak yang mengetahui bahwa di Sanghyang Sirah terdapat maqam atau petilasan Prabu Siliwangi. Ada yang mengatakan petilasannya Prabu Kian Santang, Prabu Tajimalela, Prabu Sungging Perbangkala dan lain-lain. Tetapi intinya berkaitan dengan para karuhun Sunda khususnya dan karuhun pulau Jawa pada umumnya. Perjalanan Sanghyang Sirah dimulai dengan bertemunya saya dan rombongan Uyut di Padepokan Banyu Biru, Kampung Sulang, Sepatan, Mauk Tangerang pada hari Jumat (25/12/2009) jam 14.45 WIB. Setelah berkumpul, kami mengadakan rapat untuk merencanakan segala kemungkinan yang terjadi sepanjang perjalanan ke Sanghyang Sirah. Setelah dihitung seluruhnya ternyata rombongan yang pergi berjumlah 14 orang dan diputuskan memakai 2 buah mobil, Tepat jam 20.00 WIB dengan diiringi oleh hujan gerimis, kami memulai perjalanan ke Sanghyang Sirah. Alhamdulillah sepanjang perjalanan hujan selalu menyertai kami. Dari Tangerang ke Sanghyang Sirah, kami menggunakan rute via jalan tol Jakarta-Merak dan keluar di Serang Timur. Dari Serang, kendaraan menuju Kabupaten Pandeglang dimana Sang Hyang Sirah merupakan bagian dari Kabupaten Pandeglang. Tetapi untuk menuju ke Sanghyang Sirah hanya bisa dengan 2 jalur yaitu jalur darat dengan jalan kaki melewati Pos Pertama Taman Nasional Ujung Kulon di Taman Jaya yang membutuhkan waktu 3 hari 3 malam dan jalur laut menggunakan kapal nelayan jenis trawl yang singgah di pantai Bidur kemudian perjalanan dilajutkan dengan jalan kaki ke Sanghyang Sirah yang jaraknya tinggal 1 km lagi. Kami memutuskan untuk mengambil jalur laut. Tetapi sebelumnya harus lapor dulu ke Juru Kunci Abah Syargani di Cipining dan kemudian baru lapor ke Petugas Taman Nasional Ujung Kulon di Pulau Peucang sebelum memasuki kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Kami tiba di desa Cipining, Sumur sekitar jam 04.00 pagi WIB (Sabtu 26/12/2009). Karena kondisi hujan deras maka kami sempat beberapa kali kesasar untuk menemukan rumah Abah Syargani, juru kunci Sanghyang Sirah. Setelah istirahat sejenak sambil menunggu hujan reda, pada pukul 07.00 WIB, kami berhasil menemukan rumahnya Abah Syargani. Rupanya Uyut sudah sangat mengenal Pak Syargani dan terjadilah obrolan ringan sesama kami. Kami disediakan berbagai macam hidangan oleh tuan rumah. Tanpa terasa sudah 4 jam kami berbicara panjang lebar tentang segala hal mengenai Sanghyang Sirah. Rupanya kami disuruh menunggu kedatangan kapal nelayan yang dipesan oleh anak buahnya Abah. Dan tepat pukul 11.00, kami diajak Abah menuju pantai Cipining sebagai tempat merapatnya kapal nelayan yang kami pesan. Memang kapal nelayan tidak bisa langsung merapat ke pinggir pantai yang berpasir. Untuk membawa kami ke kapal trawl tersebut maka digunakan perahu kecil yang kapasitasnya untuk 2 orang dan sanagt terbatas beban muatannya. Sambil menunggu barang-barang kami diangkut maka ajang potret memotret menjadi aktivitas kami saat itu. Akhirnya satu persatu dari kami dapat diangkut dan dinaikkan ke kapal nelayan yang berkapasitas untuk 40 orang tersebut. Perlu diketahui selain kami yang berjumlah 14 orang, Abah Syargani menyertakan seorang anaknya dan Kang Ajut, anak buahnya yang berfungsi sebagai tukang masak, pengangkut barang dan lain-lain.
Sepanjang perjalanan di laut, banyak pemandangan indah yang dapat dinikmati dan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan alam Indoneia yang cantik. Ada salah satu pengalaman menarik yang saya dapat dari para nelayan disana yaitu mengetahui kedalaman air laut dengan melihat dari warna airnya. Kata mereka, air laut berwarna hijau menandakan kedalamam sampai 75 meter, air laut berwarna biru langit menandakan kedalaman sampai 200 meter dan air laut berwarna biru kehitam-hitaman menandakan kedalaman lebih dari 500 meter. Setelah beberapa jam perjalanan kami yang diringi dengan hujan deras dan gerimis, akhirnya kami sampai juga di Pulau Peucang untuk melaporkan dan minta ijin kepada petugas Taman Nasional Ujung Kulon tentang maksud dan tujuan kami ke Sanghyang Sirah yang merupakan daerah yang masuk dalam wilayah Taman Nasional. Kurang lebih 45 menit kami menunggu di Pulau Peucang. Tepat pukul 15.50, perjalanan dilanjutkan ke Sanghyang Sirah. Pada awalnya gelombang ombak masih normal dan cuaca sungguh cerah. Tetapi ketika memasuki wilayah Tanjung Layar tiba-tiba, cuaca berubah menjadi pasang dan cuaca menjadi hujan gerimis. Beberapa kali lambung kapal dihantam ombak. Memang tidak salah kami membawa Abah Syargani yang sangat menguasai medan, dengan sigapnya beliau memerintahkan nahkoda untuk balik dan tidak memaksakan untuk melawan alam. Kapal kami dibelokkan kembali dan mencari tempat di pinggir kawasan Taman Nasional. Abah Syargani memerintahkan nahkoda untuk merapat dulu ke pantai Cibom sambil menunggu cuaca dan gelombang laut normal. Jam menunjukkan pukul 16.50 WIB. Setelah berdiskusi sejenak, kami meminta Abah Syargani untuk melanjutkan perjalanan lewat darat karena ada seorang teman dari TNI asal Aceh yang tidak bisa berlama-lama dan sudah harus ada di Aceh pada hari senin pagi (ada tugas mendadak dari Pangdam katanya). Rupanya dari Cibom ke Sanghyang Sirah berjarak 10,2 km (itu baru kata Abah yang sebenarnya lebih dari itu). Akhirnya kami memutuskan perjalanan dengan jalan kaki dan kapal diperintahkan menunggu dan ditambatkan di pantai Cibom. Rupanya medan yang kami hadapi tidak semudah yang dibayangkan. Dari Cibom, kami memasuki hutan Taman Nasional yang berstruktur bukit dan masih asri karena jarang dilewati sehingga perlu dilakukan pembabatan tumbuhan-tumbuhan yang menutupi jalan setapak yang telah dibuat sebelumnya. Naik turun bukit yang cukup melelahkan membaut saya agak kelelahan (harap maklum sudah lama tidak olahraga dan tubuh juga tambun. Jadi sudah susah bawa badan ditambah lagi barang bawaan hehehe). Sekitar perjalanan 1 jam akhirnya kami sampai di pantai Ciramea dengan panorama indah menjelang malam. Di Ciramea kami istirahat dulu dan Kang Ajut mulai sibuk membuat air minum, memasak ikan, mie instan dan sebagainya. Setelah perut kenyang, ba'da Isya kami melanjutkan perjalanan ke Sang hyang Sirah. Karena kondisi gelap gulita dan medan yang dilalui cukup berat dengan tanjakan dan turunan yang membuat kaki bisa sampai ke dada. Saya dan seorang teman, Pak Singgih merasakan keletihan yang luar biasa. Saya merasakan kaki seperti tidak mau digerakkan dan Pak Singgih merasakan kepala pusing seperti dunia berputar. Lagi pula ada hal aneh, beberapa kali Abah Syargani kebingungan mencari jalan yang biasa dilalui dan kesasar. Akhirnya oleh Uyut diperintahkan untuk berhenti dahulu karena Beliau menganggap saya dan Pak Singgih sudah tidak bisa dipaksakan untuk melanjutkan perjalanan. Beliau menduga ada hal-hal yang aneh yang membuat kami seperti berputar-putar di dalam hutan Taman Nasional. Setelah beberapa menit, Uyut memutuskan saya, Pak Singgih, Budi (anak kandung Pak Budi), Jali (supir), Abah Syargani dkk (7 orang) untuk tinggal di tempat. Sementara beliau dengan 10 orang lainnya melanjutkan perjalanan). Kami diperintahkan untuk menunggu beliau sampai balik kembali dari Sanghyang Sirah. Karena sudah keletihan tanpa terasa kami semua tertidur di tengah hutan tanpa ada rasa takut. Tanpa terasa juga, jam 04.00 pagi (27/12/2009) kami terbangun dan sudah tampak air kopi di hadapan kami. Langsung saja kami menikmati kopi yang dibuat oleh Kang Ajut. Kemudian Abah Syargani menyuruh saya dan Pak Singgih untuk berbaring sejenak dan Abah mengurut kaki kami supaya dapat melanjutkan perjalanan. Kami sempat bertanya kepada Abah untuk menunggu Uyut sesuai dengan perintahnya. Tetapi kata Abah, uyut dan rombingan belum sampa. Benar saja baru menaiki satu bukit dengan tanjakan yang curam, tiba-tiba terdengar suara Pak Lili (salah seorang rombongan Uyut) memanggil nama saya dan diikuti oleh 2 orang lainnya. Pak Lili mengatakan bahwa Uyut menyuruh kami untuk meneruskan perjalanan dan beliau tidak akan ke Sanghyang Sirah alias balik ke Cibom bersama 6 orang lainnya. Kok bisa begitu ya ? Itulah yang sempat terpikir dalam otak saya. Rupanya ada maksud tertentu yang tidak mau diungkapkan oleh Uyut. Akhirnya persis berjumlah 7 orang (sisa orang dari rombongan yang tadinya berjumlah 14 orang) melanjutkan perjalanan ke Sanghyang Sirah. Dengan perasaan pasrah dan ikhlas, akhirnya tepat pukul 11.40 WIB saya dan Pak Lili sampai di Sanghyang Sirah sebagai rombongan terakhir dengan kondisi yang sangat lelah dan lapar. Kemudian kami melepaskan lelah dengan membuat minuman sesuai dengan kesukaan masing-masing. Ada beberapa yang makan roti dan biskuit yang tersisa dari perjalanan panjang tersebut. Kebetulan di dekat persinggahan tersebut ada sungai yang airnya sejuk, menyegarkan dan dingin sehingga membuat kami membersihkan dan mendingnkan tubuh kami terlebih dahulu di sungai tersebut. Tepat pukul 12.30, kami memasuki wilayah petilasan Sanghyang Sirah yang sangat dikeramatkan oleh beberapa kalangan yang mempunyai perhatian terhadap sejarah nenek moyang atau karuhun Sunda. Tampak sebuah tebing tinggi dan sebuah mushola yang sekaligus sebagai tempat istirahat. Selain itu persis di pinggir pantai tamapak berdiri tegak 2 buah pulau karang yang sangat indah pemandangannya. Setelah menunggu sejenak, kami disuruh Abah Syargani untuk mandi terlebih dahulu di sumur dari mata air Saman yang letaknya di depan pintu masuk gua Sanghyang Sirah yang dikeramatkan. Kemudian kami melakukan ritual Rasulan sesuai dengan adat Sunda dengan berbagai macam sajian penghirmatan kepada karuhun dan juga ungkapan rasa bersyukur kami karena dengan perlindungan Allah maka bisa sampai dengan selamat di Sanghyang Sirah. Setelah itu kami diajak Abah Syargani masul ke dalam gua Sanghyang Sirah. Di dalam gua kami dilarang melakukan aktivitas pemotretan dan harus melepas alas kaki. Tepat di depan petilasan yang katanya petilasan Prabu Siliwangi, kembali kami melakukan doa dipimpin oleh Abah Syargani. Selanjutnya kami diajak masuk ke dalam lokasi yang masih dalam gua keramat tersebut. Namanya lokasi Batu Qur'an, tampak sebuah batu yang berada ditengah kolam air yang katanya air tersebut berasal dari 4 mata air yang berada di 4 sudut kolam tersebut. Kemudian satu persatu kami dimandikan oleh Abah dan disuruh melakukan tawaf (berjalan mengelilingi layaknya mengelilingi Ka'bah pada ibadah haji) sebanyak 7 kali sambil mengucapkan shalawat nabi Muhammad SAW. Alhamdulillah seluruh kegiatan ritual di dalam gua keramat tersebut dapat dilaksanakan dengan baik dan lancar. Abah mengatakan bahwa disitulah pusatnya ilmu secara spiritual di pulau Jawa dan dengan dimandikannya kami maka diharapkan terbukalah pikiran/wawasan berpikir yang ada di dalam otak tentang jati diri dan mengerti tentang asal usul kita sebagai manusia ciptaan Allah SWT. Karena saat itu, sudah ada rombongan lain yang menunggu dimandikan Abah maka kami disuruh untuk jalan terlebih dahulu dan menunggu Abah di pantai Bidur. Setelah mempersiapkan segalanya, kami melanjutkan perjalanan ke pantai Bidur untuk menunggu Abah dan sekalian melihat kapal nelayan yang mungkin bisa membawa kami ke pantai Cibom. Satu jam kemudian tampak rombonga Abah sudah datang ke pantai Bidur untuk menemui kami. Setelah melihat-lihat sekeliling laut dan tidak ada kapal nelayan yang lewat dan lagipula waktu menunjukkan pukul 17.00 WIB maka Abah menyuruh kami untuk menunggu di pantai Bidur. Sementara itu Abah dkk melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki ke pantai Cibom dan menyuruh kapal kami yang ditambatkan disana untuk menjemput kami walaupun malam haripun kami akan dijemput. Akibat cuaca yang kurang mendukung dengan hujan yang sangat deras dan diikuti oleh gelombang laut yang pasang maka kami mengambil kesimpulan bahwa kapal kami tidak mungkin dapat menjemput kami. Untuk itulah sebelumnya kami sudah menyiapkan tempat dan membangun saung sederhana dengan atap daun sejenis kelapa sebagai tempat berteduh kami malam harinya. Tanpa terasa kami ketiduran dan tepat jam 7 pagi (28/12/2009), sebuah kapal mendekati pantai Bidur. Dan benar dugaan kami bahwa kapal tersebut adalah kapal kami yang akan membawa kami kembali ke pantai Cipining dimana dari tempat itulah kami memulai perjalanan. Wao sebuah perjalanan yang luar biasa menurut kami serta penuh dengan perjuangan yang melelahkan. Sesampainya di kapal kami merasakan kepuasan dan rasa syukur yang amat sangat kepada Allah SWT serta ucapan terima kasih kepada para orang tua kami yang turut mendokan kami sepanjang perjalanan spiritual ini. Sesampainya di Cipining, kami langsung pamit kepada orang-orang yang telah membantu kelancaran perjalanan ini. Rupanya Uyut dan 6 orang teman kami telah pulang dan menunggu kami doi Padepokan Banyu Biru Kampung Sulang, Sepatan, Mauk Tangerang. Langsung saja kami meluncur ke Tangerang, persis jam 19.00 WIB, kami tiba di Padepokan dan sudah banyak sekali orang yang menyambut kedatangan Kami. Bak pahlawan yang disambut dengan meriahnya. Begitu sampai langsung kami bertujuh melakukan sungkem lepada Uyut dengan perasaan gembira dan haru. Selanjutnya Uyut melakukan acara selamatan atas keberhasilan kami sampai di Sanghyang Sirah dan kembali dengan selamat tiba di Padepokan Banyu Biru. Setelah itu, kami bisa santai dan menceritakan pengalaman kami kepada para tamu yang hadir. Sungguh sebuah kepuasan lahir dan batin. Dan tanpa terasa obrolan santai tersebut membuat kami tidak bisa tidur sampai pagi harinya. Pukul 09.00 WIB (29/12/2009), saya dan rombongan lainnya pamit diri kepada Pak Singgih, pendiri Padepokan Banyu Biru dan mengucapkan terima kasih atas segala pelayanannya kepada kami dengan baik.
|
Sunday, January 10, 2010
Sanghyang Sirah : Sirahnya Pulau Jawa
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment