From: A.Syauqi Yahya
Buron
Sabtu, 09 Juli 2011 | 23:15 WIB
Putu Setia
Kenapa Nazaruddin disebut buron? Pertanyaan ini muncul dari tetangga sebelah rumah. Sebelum menjawab, saya menyindir, "Beginilah kalau tak pernah nonton televisi."
Tetangga saya tertawa. Dia bilang masih rajin menonton TV, tapi tak lagi "TV berita" yang dulu sangat disukainya. Alasannya, yang disiarkan hanya kejelekan dan selalu menyalahkan, bahkan menghujat. Begini salah, begitu salah, tidak begini dan tidak begitu juga salah. "Ibarat kate," ia bicara meniru pelawak, "SBY berjalan ke timur salah, berjalan ke barat salah, diam juga salah. Yang benar mana?"
Dia nyerocos terus, lupa akan pertanyaannya. "Berita tenaga kerja yang dipancung itu contohnya. Awalnya menyedihkan, tapi kemudian membosankan. Ada jutaan tenaga kerja di luar negeri, masak sih tak ada yang sukses. Yang sukses tak diliput, yang teraniaya terus disiarkan. Mending nonton TV lain, ada kartun sampai malam, ada Ipin-Upin, ada balap motor, ya sesekali nonton Putri yang Tertukar."
Kini saya yang tertawa, meski tak paham, Putri yang Tertukar itu berita investigasi atau sinetron. "Pantas tak tahu Nazaruddin," kata saya. Tetangga saya protes, "Tahu sih, sesekali pernah dengar, tapi kenapa disebut buron? Di Bali hanya binatang yang disebut buron, karena hanya binatang yang bisa diburu. Kalau manusia buron, wah, betapa terhinanya, seluruh keluarga ikut terhina. Amit-amit...."
"Dunia sudah berubah, ukuran dalam soal moralitas juga berubah," kata saya. Buron sudah dilekatkan pada diri manusia, dan tak ada kaitan dengan terhina atau tidak. Karena sudah diciptakan alasan pembenar untuk menawar keterhinaan itu. Nunun Nurbaetie juga dinyatakan sebagai buron, tapi suaminya, Adang Daradjatun, tetap terhormat sebagai wakil rakyat, tetap dikagumi prestasinya sebagai mantan Wakil Kepala Kepolisian RI. Sebab, istilah buron itu ditampiknya dengan alasan hukum tidak adil.
Nazaruddin pun begitu. Pengacaranya bilang dia dizalimi; dia dikorbankan; kalau hukum adil, dia akan pulang dengan tenang. Teman-teman separtainya juga begitu awalnya. Semua senada bilang Nazaruddin sakit; sedang berobat jalan; beratnya susut 18 kilogram; kalau diizinkan dokter, akan pulang, tak usah dijemput, memangnya naik haji pakai jemputan. Sekarang semua orang mengaku bingung, dia tak ada di Singapura, tak ada di Filipina, apalagi di Jember. Vietnam, Malaysia, Dubai, dan Pakistan disebut-sebut sebagai tempat pelariannya. Jika Nazaruddin dicap terhina--ukuran moralitas lokal tentang status buron--bagaimana dengan teman-temannya?
"Paling tidak teman-teman Nazaruddin di partai itu berbohong besar," kata tetangga saya. "Betul, hanya berbohong," kata saya. "Tapi itu tak membuat mereka terhina, karena teman-temannya itu semua politikus. Bagi politikus, berbohong itu adalah profesi, sudah melekat dengan pekerjaannya."
"Sulit mana memburu Nazaruddin dibanding memburu babi hutan?" tanya tetangga saya yang memang pemburu itu. "Sama-sama mudah kalau ada kemauan, sama-sama sulit kalau berburu setengah hati," jawab saya. Nazaruddin punya jaringan, punya uang berlimpah, tinggal di tempat mewah, masih bisa makan pizza, bukan di hutan. Nah, yang memburu apakah juga punya jaringan solid, uang yang cukup, dan bekerja cekatan? Lalu, kuncinya, yang menyuruh memburu itu serius apa tidak?
"Yang menyuruh Presiden, pasti serius," kata tetangga saya. Saya jawab, "Kalaupun Presiden serius, kan separuh lebih menteri mengabaikan perintah Presiden." Tetangga saya pergi dan bergumam, "Gawat negeri ini, apakah itu cuma liputan TV berita yang tak imbang?"
http://www.tempointeraktif.com/hg/carianginKT/2011/07/10/krn.20110710.241477.id.html
--
No comments:
Post a Comment