From: unclegoop
Sent to you by unclegoop via Google Reader:
Memasak Bersama
via unclegoop.com by unclegoop on 5/16/11
Barangkali semua yang terjadi diawali dari dapur….
Semenjak hidup bersama dengan Chinta, uang saku yang biasanya untuk makan bisa digunakan untuk keperluan lain. Saya bersyukur untuk itu.
Semua berawal dari sebuah kompor. Warnanya hitam, merknya Quantum dan nyala apinya bagus. Semenjak benda itu dibeli, maka memasak menjadi bagian dari hari-hari kami.
Apakah semua berjalan lancar?
Namanya memasak tentu melibatkan banyak hal. Dari mulai peralatannya, memang sudah kami beli jauh-jauh hari. Namun, rupanya peralatan yang sedikit itu tak cukup untuk semua jenis masakan. Sudah ada penggorengan dan solet, namun lupa tak ada penirisnya. Sudah dibeli panci, namun kebingungan apabila hendak menjerang air untuk mandi karena kurang besar, hahaha. Ada saja yang kurang.
Beranjak ke bahan-bahan untuk masakan. Huah, ternyata banyak sekali yang harus dibeli bila hendak memakan masakan yang beragam. Mulai dari bahan dasar, bumbu-bumbu sampai dengan bahan pendukung harus tersedia. Mula-mula supermarket menjadi tempat kami belanja. Sayang, tak semua barang keperluan memasak tersedia di sana. Akhirnya, pasar tradisional justru menawarkan lebih banyak hal yang tidak ditemukan di supermarket. Chinta menjadi hapal dengan penjual sayur dan bahan-bahan apa yang perlu dibeli. Pun saya, mau tak mau di minggu pagi harus turut sibuk mengantarkannya berbelanja ke pasar.
Dalam proses memasaknya sendiri, kami berkutat dengan kekhawatiran. Semua karena persoalan ini adalah hal baru bagi kami berdua. Tak akan saya lupa bagaimana rasa masakannya yang pertama: aneh betul, hahahaha. Selain rasa, juga tidak jelas apa yang dimasak istri saya itu.
Ada yang bilang berbohong untuk kebaikan itu bagus dilakukan. Namun dalam hal ini, ujar-ujar itu tak berlaku untuk saya. Memang tak terucap dari mulut saya, namun dari gerakan tubuh dan mimik jelas terlihat kalau mulut diikuti badan saya susah menerima masakan itu. Dari situ saja, sudah tak mungkin bagi saya untuk berbohong dan berkata, "Enak, kok, Mah."
Kejujuran itu juga nantinya berguna untuk saya. Saya ingin masakan dia itu enak, maka saya harus jujur menyangkut rasanya. Apabila terlalu asin akan saya bilang terlalu asin, pun kalau terlampau pedas. Semua rasa itu akan saya bilang apa adanya. Dan sekarang, syukurlah dengan kejujuran sederhana itu rasa masakannya luar biasa. Rasanya perut saya bisa menampung semua yang ia masak.
Tapi tunggu dulu, untuk mencapai rasa enak itu, untuk jujur demikian, bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Begitu jelas kekhawatiran di wajahnya menyoal rasa masakannya. Mungkin ia khawatir masakan itu akan meracuni saya. Dari pihak saya pun, sungguh tak nyaman rasanya saat harus berkata jujur melihat wajah yang masih dititiki oleh keringat itu, segala susah payah, segala proses harus dihakimi dengan berkata, "Tidak enak."
Dapur kami saat mengepul tak pernah sepi. Terkadang kerjasama terjalin dengan manis, yang satu mencuci yang lain mengupas bawang. Ditingkahi cerita satu sama lain apa yang terjadi di hari yang baru saja dilewati. Namun kondisi tak selalu berjalan seperti itu. Seringkali, pertengkaran juga dilakukan apabila kesalahan terjadi.
Saya akui, saya asisten yang kurang bagus, apalagi dalam memasak. Tak jarang saya melakukan kekeliruan dalam usaha saya membantunya. Ia pun akan marah dan menghardik saya, saya pun akan membalas berteriak karena merasa bahwa niat baik saya membantu itu pun sudah bagus. Maka dapur yang sudah ramai itu pun kian riuh dengan segala teriakan.
Yang tak saya lupa adalah manakala masakan jadi dan kami makan bersama. Pada kondisi ini, saat menikmati masakan yang salah satu bumbunya adalah kasih sayang-hayah-semua risau itu pun menguap bersama setiap suapan dan tatapan penasarannya. Kami nikmati masakan itu dengan sepenuh hati, sebagai buah keringat, hasil kerja bersama.
"Dad, besok masak apa?" Begitu tanyanya setiap kali selimut sudah tergelar menjelang tidur. Saya terdiam, bahkan untuk persoalan sederhana itu, saya sukar memutuskan. Jawaban mudahnya: saya peluk saja ia dan esok pagi sarapan hangat yang masih mengepulkan asap berbau harum sudah tersedia untuk saya….
Terima kasih istriku.
* Bahasa Indonesia solet apa, ya?
* picture
Share/Bookmark
No comments:
Post a Comment