From: hernowo hasim
Merancang End Pages: Bagaimana Saya Menulis Buku Writing Toolbox (9)
Oleh Hernowo
Mari kita mulai dengan bagaimana merancang halaman-halaman akhir (end pages). Baru setelah ini, kita akan masuk ke kegiatan merancang halaman-halaman awal (front pages). Sekali lagi, kita saat ini sedang membicarakan "isi" buku yang terdiri atas tiga kelompok halaman—awal, tengah, dan akhir. Kita belum bicara ihwal "bungkus" atau sampul buku. Ke depan, insya Allah, kita akan membicarakan soal desain sampul buku yang "eye catching" dan berkarakter.
Sebagaimana kita tahu, halaman tengah atau "daging" buku sudah kita bicarakan. Bagaimana dengan halaman akhir? Kenapa saya tidak memulainya dengan halaman awal terlebih dahulu? Halaman akhir lebih mudah karena halaman akhir itu "bentuk"-nya lebih jelas dan mapan. Halaman akhir, biasanya, digunakan oleh seorang penulis untuk meletakkan hal-hal penting yang bisa mendukung halaman tengah.
Beberapa materi yang perlu ada di halaman akhir—jika buku itu nonfiksi—adalah referensi, lampiran, dan indeks. Dahulu, penerbit sering meletakkan biodata penulis di halaman akhir. Namun, kini, termasuk Penerbit Mizan, meletakkannya di halaman awal. Kenapa? Karena sesungguhnya biodata yang menarik dari seorang penulis perlu diketahui di awal—bisa dijadikan sebagai daya tarik sebuah buku.
Kita mulai dari referensi. Referensi adalah tanda bahwa sebuah buku dibuat dengan berpijak pada sesuatu yang kukuh. Ada juga sih referensi yang hanya mendata daftar buku namun daftar buku itu tidak benar-benar dibaca atau bahkan tidak dirujuk oleh si penulis. Ini namanya adalah referensi bohong-bohongan. Saya menganjurkan agar referensi dibuat dengan benar dan yang tercantum di dalam referensi memang benar-benar dijadikan rujukan oleh si penulis ketika menuangkan gagasannya.
Contoh membangun referensi yang dahsyat adalah dengan, misalnya, mengelompokkan tema-tema buku yang dijadikan referensi. Contoh yang bagus ini, misalnya, ada pada buku The Learning Revolution karya Gordon Dryden dan Jeannette Vos. Bahkan di buku itu juga diberi petunjuk penting untuk para pembaca yang ingin mendalami lebih lanjut tentang sebuah topik yang dibahas oleh The Learning Revolution.
Ada juga referensi yang memuat komentar pendek untuk setiap buku yang dijadikan referensi. Pola seperti ini, misalnya, saya temukan dalam buku Borrowing Brilliance karya David Murray. Model referensi seperti ini tentu tidak bisa mendaftar buku yang banyak. Namun, model ini dapat membantu para pembaca untuk mengetahui alasan si penulis kenapa menggunakan buku tersebut sebagai rujukan.
Saya pernah melakukan apa yang dicontohkan oleh Murray dalam buku-pertama saya, Mengikat Makna (2001). DalamMengikat Makna Update (2009), saya mengelompokkan referensi menjadi dua bagian: karya saya sendiri dan karya orang lain. Apa pun bentuk yang Anda ambil, referensi tidak hanya melulu mendaftar judul buku, pengarang, dan penerbitnya. Referensi dapat memperkaya para pembaca secara berbeda dan unik serta menunjukkan betapa buku yang Anda tulis memang dibuat dengan berpijak pada pendapat yang kukuh dan sudah teruji.
Tentang lampiran atau appendix biasanya dimanfaatkan untuk meletakkan materi pendukung yang tak bisa dimuat di halaman tengah. Saya, misalnya, terkesan dengan lampiran yang ada di buku Daniel Goleman, Emotional Intelligence. Sangat menarik dan mengesankan karena berisi kisah-kisah tentang penerapan kecerdasan emosi di sebuah sekolah dan hal-hal lain yang mendukung pentingnya mengasah EQ. Saya juga membuat lampiran di Mengikat Makna dengan beberapa tulisan yang berisi rancangan buku-buku yang akan saya buat ke depan.
Di halaman akhir ini, masih ada satu komponen yang sangat penting—khususnya untuk buku nonfiksi. Apa itu? Indeks. Saya akan menjelaskan di tulisan berikutnya.[]
--
No comments:
Post a Comment